Kita memang tidak pernah bisa memilih dari rahim siapa kita
terlahir, namun kita punya pilihan luas seluas-luasnya untuk hidup dan
mengakhirinya dengan akhir yang terbaik. Agama bukanlah warisan, ia adalah
pilihan. Setiap kita berhak untuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh,
sehingga dalam beragama memang sudah semestinya tak ada paksaan.
Beragama itu murni keputusan peribadi setiap manusia,
manusia di bekali akal untuk mencari kebenaran. Pun yang terlahir dari rahim muslim
belum tentu ia akan muslim hingga akhir, pun yang terlahir dalam keadaan non
muslim tak ada jaminan ia akan berada dalam keadaan itu hingga akhir.
Hidup dipenuhi oleh pilihan-pilihan, banyak yang nampaknya
kebenaran padahal nyatanya bukan sebab banyak sesuatu yang tertutupi oleh
kesenangan sehingga nampaklah ia seperti kebenaran. Padahal seyogyanya
kebenaran itu bukan hanya sekedar menyenangkan namun mestinya ia juga
menenangkan.
Setiap pemeluk agama menganggap agamanyalah yang benar,
justru dengan keadaan itu kita mesti bersyukur sebab dengan adanya perseteruan
antar agama kita kemudian bisa menilai dengan akal akan pentingnya mencari
sebuah kebenaran, dan kemudian meyakini pilihan itu hingga akhir.
Allah pun mencontohkan dalam Alquran bahwa sekiranya kalian
di jadikan sebangsa sekalipun kita akan tetap berseteru, sebab disanalah
sesungguhnya peroses pencarian kebenaran berjalan. Akal yang fitrah akan
merespon bahwa tidak mungkin kebenaran itu banyak, pasti kebenaran itu hanya
satu. Dan dari sanalah pencarian kebenaran itu sesungguhnya berperoses.
Jika ada yang terlahir dalam keadaaan kafir itu bukanlah
kesalahannya, namun jika dia mati dalam keadaan kafir, maka itu karna kebodohan
sendiri. Yang tak mampu melihat kebenaran berserakan di depan bola matanya.
Saya kemudian mengatakan “kafir” bagi non muslim bukan karna
saya membencinya secara individu, saya hanya membenci apa yang harus saya benci
dalam aturan agama saya. Kata kafir untuk non muslim begitulah sebutan mereka
dalam kitab suci saya. Dan Anda tak bisa paksakan saya untuk bisa lebih sopan
dari itu.
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama
yang sama itu akan menjamin kerukunan? Kalian katakan tidak. Jika dengan agama
yang sama saja, tak rukun. Lalu bagaimana bisa kita berusaha merukunkan mereka
dalam bingkai yang berbeda? Bukankah berbeda itu selamanya takkan pernah sama?
Ini bukan tentang sentimen mayoritas dan minoritas, ini
tentang keyakinan kami. Dari terlahir hingga kami mati agama kami mengaturnya
dengan rinci. Bukan hanya tentang urusan bernegara bahkan bahkan tiga huruf
yang amat menjijikann itu agama kami mengatur bagaimana membersihkannya.
Dalam persfektif pancasila, setiap pemeluk agama bebas
meyakini dan menjalankan agamanya. Lalu bagaimana islam menjalankan
keyakinannya secara konfrehensip jika kemudian selalu dicekal atas nama
radikalisme dan anti humanisme? Selalu tersudutkan dan terpinggirkan serta
senantiasa tertekan dari segala sisi. Apakah salah jika kami menjalankan ajaran
kami?
No comments:
Post a Comment