Tuesday, May 23, 2017

AGAMA BUKAN WARISAN NENEK MOYANG




Kita memang tidak pernah bisa memilih dari rahim siapa kita terlahir, namun kita punya pilihan luas seluas-luasnya untuk hidup dan mengakhirinya dengan akhir yang terbaik. Agama bukanlah warisan, ia adalah pilihan. Setiap kita berhak untuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh, sehingga dalam beragama memang sudah semestinya tak ada paksaan.

Beragama itu murni keputusan peribadi setiap manusia, manusia di bekali akal untuk mencari kebenaran. Pun yang terlahir dari rahim muslim belum tentu ia akan muslim hingga akhir, pun yang terlahir dalam keadaan non muslim tak ada jaminan ia akan berada dalam keadaan itu hingga akhir.

Hidup dipenuhi oleh pilihan-pilihan, banyak yang nampaknya kebenaran padahal nyatanya bukan sebab banyak sesuatu yang tertutupi oleh kesenangan sehingga nampaklah ia seperti kebenaran. Padahal seyogyanya kebenaran itu bukan hanya sekedar menyenangkan namun mestinya ia juga menenangkan.
Setiap pemeluk agama menganggap agamanyalah yang benar, justru dengan keadaan itu kita mesti bersyukur sebab dengan adanya perseteruan antar agama kita kemudian bisa menilai dengan akal akan pentingnya mencari sebuah kebenaran, dan kemudian meyakini pilihan itu hingga akhir.

Allah pun mencontohkan dalam Alquran bahwa sekiranya kalian di jadikan sebangsa sekalipun kita akan tetap berseteru, sebab disanalah sesungguhnya peroses pencarian kebenaran berjalan. Akal yang fitrah akan merespon bahwa tidak mungkin kebenaran itu banyak, pasti kebenaran itu hanya satu. Dan dari sanalah pencarian kebenaran itu sesungguhnya berperoses.

Jika ada yang terlahir dalam keadaaan kafir itu bukanlah kesalahannya, namun jika dia mati dalam keadaan kafir, maka itu karna kebodohan sendiri. Yang tak mampu melihat kebenaran berserakan di depan bola matanya.

Saya kemudian mengatakan “kafir” bagi non muslim bukan karna saya membencinya secara individu, saya hanya membenci apa yang harus saya benci dalam aturan agama saya. Kata kafir untuk non muslim begitulah sebutan mereka dalam kitab suci saya. Dan Anda tak bisa paksakan saya untuk bisa lebih sopan dari itu.

Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama itu akan menjamin kerukunan? Kalian katakan tidak. Jika dengan agama yang sama saja, tak rukun. Lalu bagaimana bisa kita berusaha merukunkan mereka dalam bingkai yang berbeda? Bukankah berbeda itu selamanya takkan pernah sama?
Ini bukan tentang sentimen mayoritas dan minoritas, ini tentang keyakinan kami. Dari terlahir hingga kami mati agama kami mengaturnya dengan rinci. Bukan hanya tentang urusan bernegara bahkan bahkan tiga huruf yang amat menjijikann itu agama kami mengatur bagaimana membersihkannya.

Dalam persfektif pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan agamanya. Lalu bagaimana islam menjalankan keyakinannya secara konfrehensip jika kemudian selalu dicekal atas nama radikalisme dan anti humanisme? Selalu tersudutkan dan terpinggirkan serta senantiasa tertekan dari segala sisi. Apakah salah jika kami menjalankan ajaran kami?

No comments:

Post a Comment