Seorang lelaki masuk ke sebuah ruang sidang yang di mana pada saat itu sedang digelar rapat yang alot, tetiba lelaki itu berdiri dari kursinya lalu berteriak dengan keras. "Wah, payah bicara kalian, tak ada manfaatnya!". Sembari meninggalkan tempat pertemuan.
Tidak berakhir hanya sampai disitu saja. Lelaki itu kemudian berjalan dan meraih pintu ruangan ia pun membukanya lalu menutupnya dengan sangat keras dan membuat seisi ruangan terheran-heran.
Kisah itu dituturkan oleh Tilmisani dalam bukunya yang berjudul "Dzikrayat Laa Mudzakkirat" di sana ia menggambarkan bagaimana lukisan kekecewaan lelaki tersebut dalam sebuah rapat.
Kita mungkin tidak menyangka, atau mungkin akan marah, jika mengetahui bahwa lelaki yang dikisahkan dalam buku itu, lelaki yang membanting pintu itu, lelaki yang berteriak itu. Adalah seorang lelaki yang namanya bergema di seantero jagat raya, yang jerejak perjuangannya dan juga dakwahnya merupakan ilham utama kebangkitan gerakan islam dunia.
Lelaki itu adalah, pendiri Ikhwanul muslimin di Mesir, dialah Hasan Al Banna.
Gambaran sosok beliau yang lembut penyabar dan halus akan menguap bila membaca kissah ini, namun inilah kebenarnnya. Sebuah fakta yang digoreskan langsung oleh salah satu murid kesayangnnya yang sepeninggalnya menjadi ketua umum ikhwanul muslimin setelah Hasan Al Hudhaibi yaitu Umar Tilmisani.
Banyak yang tidak setuju bahkan marah dengan fakta sejarah itu tapi begitulah jalannya, fakta sejarah itu jauh dari yang kita inginkan karna tingginya takaran kita pada sosok yang kita agungkan, hingga kita lupa bahwa sosok itu juga adalah manusia bisa layaknya kita.
Salah satu faktor penyebab yang berpotensi mengaburkan fakta sejarah adalah, fanatisme. Menganggap sempurna sesuatu, yang sangat mungkin memiliki cacat adalah kesalahan, yang hingga pada gilirannya, kacamata obyektifnya menjadi kabur untuk melihat fakta terbaliknya.
Sebagaimana tokoh anti Apartheid yang juga mantan presiden Afrika Selatan yang dikenal sangat ramah dan murah senyum seseorang kerap mempertontonkan bagaimana kelembutan diperagakan dialah mendiang Nelson Mandela.
Kelembutan yang diperagakan bukan hanya pada kawan tapi juga pada lawan-lawan politiknya dengan rekonsiliasi terbukti dapat menyatukan elemen bangsanya.
Tetapi dibalik senyum hangat itu ada fakta terbalik dimana Mandela harus bercerai dengan istrinya. Bukan karena istrinya tidak lagi punya rasa sayang pada Mandela, justru ia sosok yang sangat penyayang.
Namun mandela adalah seorang petinju, yang kerapkali melihat Winnie sebagai bayangan samsak yang membuatnya sulit menahan diri untuk tidak mendaratkan tangannya.
Membuka fakta sejarah itu kerapkali membuat orang-orang yang terlanjur fanatik akan merasa gerah dan gusar.
Fanatisme membuat idealisme menjadi buta, sinyal obyektif melemah. Karena menggantungkan harapan, pada sesuatu yang tidak mungkin bergantung padanya harapan kesempurnaan.
Maka idealnya melihat seseorang dengan kecamata obyektif sangat penting untuk menjaga diri dari sifat berlebihan dan melampaui batas.
Pentingnya bersikap washatiyah, benci dan cinta dengan takaran yang seimbang. karena kecintaan membutakan dan kebencian itu menghalangi keadilan dan ketaqwaan bertumbuh.
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Biasnya sikap, menyebabkan pandangan kita. Seolah-olah meyakini sebuah kebenaran yang kita pandang, adalah juga kebenaran yang sama yang dipandang oleh orang lain.
Bias itu bisa muncul mungkin saja di motori oleh latar belakang keluarga, pengalaman pribadi, politik, pendidikan, dan sebagainya.
Padahal apa yang disangka kebaikan mungkin saja ada hal-hal buruk padanya yang luput dari perhatian.
Karenanya bersikap adil adalah perintah Allah dalam Alqur'an إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ Salah satu fungsinya adalah يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ Memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
*Naser Muhammad*