Saturday, February 22, 2020

FANATISME MEBUTAKAN KACAMATA OBJEKTIF

Seorang lelaki masuk ke sebuah ruang sidang yang di mana pada saat itu sedang digelar rapat yang alot, tetiba lelaki itu berdiri dari kursinya lalu berteriak dengan keras. "Wah, payah bicara kalian, tak ada manfaatnya!". Sembari meninggalkan tempat pertemuan.

Tidak berakhir hanya sampai disitu saja. Lelaki itu kemudian berjalan dan meraih pintu ruangan ia pun membukanya lalu menutupnya dengan sangat keras dan membuat seisi ruangan terheran-heran.

Kisah itu dituturkan oleh Tilmisani dalam bukunya yang berjudul "Dzikrayat Laa Mudzakkirat" di sana ia menggambarkan bagaimana lukisan kekecewaan lelaki tersebut dalam sebuah rapat.

Kita mungkin tidak menyangka, atau mungkin akan marah, jika mengetahui bahwa lelaki yang dikisahkan dalam buku itu, lelaki yang membanting pintu itu, lelaki yang berteriak itu. Adalah seorang lelaki yang namanya bergema di seantero jagat raya, yang jerejak perjuangannya dan juga dakwahnya merupakan ilham utama kebangkitan gerakan islam dunia.

Lelaki itu adalah, pendiri Ikhwanul muslimin di Mesir, dialah Hasan Al Banna.

Gambaran sosok beliau yang lembut penyabar dan halus akan menguap bila membaca kissah ini, namun inilah kebenarnnya. Sebuah fakta yang digoreskan langsung oleh salah satu murid kesayangnnya yang sepeninggalnya menjadi ketua umum ikhwanul muslimin setelah Hasan Al Hudhaibi yaitu Umar Tilmisani.

Banyak yang tidak setuju bahkan marah dengan fakta sejarah itu tapi begitulah jalannya, fakta sejarah itu jauh dari yang kita inginkan karna tingginya takaran kita pada sosok yang kita agungkan, hingga kita lupa bahwa sosok itu juga adalah manusia bisa layaknya kita.

Salah satu faktor penyebab yang berpotensi mengaburkan fakta sejarah adalah, fanatisme. Menganggap sempurna sesuatu, yang sangat mungkin memiliki cacat adalah kesalahan, yang hingga pada gilirannya, kacamata obyektifnya menjadi kabur untuk melihat fakta terbaliknya.

Sebagaimana tokoh anti Apartheid yang juga mantan presiden Afrika Selatan yang dikenal sangat ramah dan murah senyum seseorang kerap mempertontonkan bagaimana kelembutan diperagakan dialah mendiang Nelson Mandela.

Kelembutan yang diperagakan bukan hanya pada kawan tapi juga pada lawan-lawan politiknya dengan rekonsiliasi terbukti dapat menyatukan elemen bangsanya.

Tetapi dibalik senyum hangat itu ada fakta terbalik dimana Mandela harus bercerai dengan istrinya. Bukan karena istrinya tidak lagi punya rasa sayang pada Mandela, justru ia sosok yang sangat penyayang. 

Namun mandela adalah seorang petinju, yang kerapkali melihat Winnie sebagai bayangan samsak yang membuatnya sulit menahan diri untuk tidak mendaratkan tangannya.

Membuka fakta sejarah itu kerapkali membuat orang-orang yang terlanjur fanatik akan merasa gerah dan gusar.

Fanatisme membuat idealisme menjadi buta, sinyal obyektif melemah. Karena menggantungkan harapan, pada sesuatu yang tidak mungkin bergantung padanya harapan kesempurnaan.

Maka idealnya melihat seseorang dengan kecamata obyektif sangat penting untuk menjaga diri dari sifat berlebihan dan melampaui batas.

Pentingnya bersikap washatiyah, benci dan cinta dengan takaran yang seimbang. karena kecintaan membutakan dan kebencian itu menghalangi keadilan dan ketaqwaan bertumbuh.

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.

Biasnya sikap, menyebabkan pandangan kita. Seolah-olah meyakini sebuah kebenaran yang kita pandang, adalah juga kebenaran yang sama yang dipandang oleh orang lain. 

Bias itu bisa muncul mungkin saja di motori oleh latar belakang keluarga, pengalaman pribadi, politik, pendidikan, dan sebagainya.

Padahal apa yang disangka kebaikan mungkin saja ada hal-hal buruk padanya yang luput dari perhatian.

Karenanya bersikap adil adalah perintah Allah dalam Alqur'an إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ Salah satu fungsinya adalah يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ Memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

*Naser Muhammad*

Thursday, February 20, 2020

ISTIQOMAH UPAYA MENYAPA KEMATIAN DENGAN INDAH

Istiqamah dalam terminologi Islam berarti memiliki pendirian yang kuat dan teguh Frasa ini berasal dari bahasa Arab yaitu istiqama, yastaqimu, istiqamah yang berarti tegak lurus.

Bicara tentang istiqamah, akan memunculkan beragam interpretasi berkaitan dengan maknanya, karena istiqamah memiliki makna yang sangat dalam.

Rasulullah pun mengakui hal tersebut, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma,

مَا نُزِّلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- آيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هذِهِ الآيَةِ عَلَيْهِ،

 وَلِذلِكَ قَالَ لِأَصْحَابِه حِيْنَ قَالُوْا لَه: لَقَدْ أَسْرَعَ إِلَيْكَ الشَّيْبُ! فَقَالَ : شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَأَخْوَاتُهَا

Tidaklah ada satu ayat pun yang diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini (ayat istiqomah ).

Oleh karena itu, ketika beliau ditanya, ‘Betapa cepat engkau beruban’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Sahabatnya, ‘Yang telah membuatku beruban adalah surat Hûd dan surat-surat semisalnya.

Karenanya Istiqamah hanya bisa konsisten dilakukan, jika kita memahami tujuan dari melakukan sesuatu dan paham akan resiko juga keuntungannya.

Rasulullah sangat memahami perintah istiqomah, tidak ada perintah Allah yang tidak penting hanya saja istiqomah adalah perintah yang sangat berat. 

Dalam Syarh Shahîh Muslim (1/199) Abul-Qâsim al-Qusyairi rahimahullah mengatakan bahwa “Istiqâmah adalah suatu derajat yang dengannya segala urusan (agama) menjadi sempurna dan dengannya akan didapatkan kebaikan-kebaikan dan keteraturan.”

Istiqamah lahir dari kebiasaan, dan kebiasaan lahir dari paksa diri. memaksa diri melakukan kebaikan adalah batu pertamanya. Istiqamah tdk mungkin lahir dari kelalaian.

Paksa diri adalah upaya berjenjang untuk sampai pada kebiasaan, setiap kita akan bangkitkan dan dimatikan sebagaimana kebiasaan-kebiasaan kita.

Nabi Shallahu'alaihi wa Sallam_ bersabda :

يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ

"Setiap hamba akan dibangkitkan berdasarkan kondisi meninggalnya" HR Muslim no (2878).

Sesiapa yang mati dalam keadaan lalai, ia akan bangkit dalam keadaan lalai, sesiapa yang mati dalam kondisi keburukan maka ia akan bangkit dalam kondisi keburukan.

Karenanya Berkata Al - Munaawi dalam At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami' As-Shogiir' (2/859).

 أَيْ يَمُوْتُ عَلَى مَا عَاشَ عَلَيْهِ وَيُبْعَثُ عَلَى ذَلِكَ 

"Yaitu ia meninggal di atas kehidupan yang biasa ia jalani dan ia dibangkitkan di atas hal itu."

Pentingnya melazimkan kebiasaan baik walau nampak kecil, sebab kita tidak pernah tahu pada kebiasaan kecil apa kita akan mengakhiri kehidupan.

Dalam hadits riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Amalan yang paling Allah sukai adalah yang dilakukan secara konsisten walaupun sedikit.”

Nampaknya para ulama sangat terobsesi dengan perintah istiqamah, sehingga bisa kita baca dalam literatur dan fakta-fakta sejarah bagaimana mereka manjalani kehidupan dengan keasyikan beribadah.

Adalah Abdullah bin Idriis (190-192 H) misalnya dalam Taariikh Al-Islaam' karya Ad-Dzahabi (13/250) atau 'Ats-Tsabaat 'inda Al-Mamaat' karya Ibnil Jauzi hal 154) ,

عَنْ حُسَيْن الْعَنْقَزِي قَالَ:
 لَمَّا نَزَلَ بِابْنِ إِدْرِيْسَ الْمَوْتُ بَكَتْ ابْنَتُهُ

 فَقَالَ: لاَ تَبْكِي يَا بُنَيَّة، فَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْآنَ فِي هَذَا الْبَيْتِ أَرْبَعَةَ آلاَف خَتْمَة

Dari Husain Al-'Anqozi, ia bertutur :
"Ketika kematian mendatangi Abdullah bin Idris, maka putrinya pun menangis, maka Dia pun berkata :

 "Wahai putriku, jangan menangis! Sungguh, Aku telah mengkhatamkan al Quran dirumah ini 4000 kali".

Betapa lebarnya senyuman mereka menghadapi kematian, betapa menenangkannya mereka menghadapi maut. Betapa mereka mencintai kematian, lebih dari cintanya pada kehidupan.

Dikisahkan pula dalam Taariikh Al- Islaam' (8/142) Mush'ab bin Abdillah bercerita tentang 'Aamir bin Abdillah bin Zubair yang dalam keadaan sakit parahnya Aaamir bin Abdillah mendengar muadzin mengumandangkan adzan untuk shalat maghrib, padahal ia dalam kondisi sakaratul maut pada nafas-nafas terakhir, maka iapun berkata :

سمع عامر المؤذن وهو يجود بنفسه فقال: خذوا بيدي إلى المسجد، فقيل: إنك عليل فقال: أسمع داعي الله فلا أجيبه فأخذوا بيده فدخل مع الإمام في صلاة المغرب فركع مع الإمام ركعة ثم مات

 “Pegang tanganku aku ingin ke mesjid…!!”

Mereka yang hadir pun berkata : "Engkau dalam kondisi sakit !"

Diapun berkata :

 ”Aku mendengar muadzdzin mengumandangkan adzan sedangkan aku tidak menjawab (panggilan)nya, Peganglah tanganku…!"
 
Maka merekapun memapahnya lalu iapun sholat maghrib bersama Imam berjama'ah, diapun shalat satu rakaat kemudian meninggal dunia. 

Nampaklah bagi kita bahwa, istiqamah adalah jalan panjang yang harus ditempuh, sebagai upaya menghadapi akhir yang indah bahwa kematian akan datang menyapa setiap kebiasaan yang telah lama dibangun. 

*Naser Muhammad*