Wednesday, May 25, 2016

FILOSOFI KOPI

Kopi

Bermula dari kambing-kambing yang tidak pulang pada suatu malam dan kegelisahan sang pengembala. Kaldi, pengembala kambing dari Ethiopia, Afrika Timur, menemukan kembali kambing-kambingnya pada pagi keesokan harinya. Sumber lain menyebut gembala tersebut bernama: Khalid. Kambing-kambingnya terlihat gembira, bergerak lincah didekat pohon berdaun gelap berbuah merah. Kaldi penasaran, maka ia ikut mengunyah buah warna merah tersebut. Kemudian Kaldi merasa lebih berenergi. Kaldi menduga kegembiraan kambing-kambingnya disebabkan buah berwarna merah tersebut, yang kemudian disebut sebagai kopi. Selanjutnya seorang agamawan berjumpa Kaldi dan kopinya, untuk kemudian kopi diolah lebih sistematis: disangrai, dihalusan, dan dibuat minuman yang asyik untuk menemani agamawan beribadah di malam hari. Sebagaimana ditulis di A Passion of Coffee

Dalam kitab Irsyadu al-Ikhwan fi Bayani al-Hukm al-Qahwah wa al-Dhukhan (Kitab Kopi dan Rokok), karangan Syaikh Ihsan Jampes. Beliau dari Jampes, Jawa Timur. Beliau melihat permasalahan kopi ini dengan cara luwes dan dimanis. Tidak berhenti pada status haram atau halal. Kopi bisa menjadi haram atau sebaliknya halal, atau sekadar makruh, bergantung pada dampak yang disebabkan dan pijakan ratio legis-nya.

Misalnya, seseorang lebih mengutamakan pengeluaran kopi dibanding untuk pengeluaran keluarga. Jika upaya menempatkan kopi sebagai prioritas dalam kesehariannya itu menyebabkan kerugian bagi keluarga, seperti anaknya kekurangan gizi lantaran biaya yang dimilikinya selalu diutamakan untuk pengeluaran minum kopi, maka minum kopi bisa menjadi haram.

Dalam berdakwah Imam Hasan Al Banna tidak hanya menggunakan masjid dan sekolah. Beliau hadir di kedai - kedai kopi, Kairo. Sebagai hasil dari kajiannya itu, Al Banna menemukan metode untuk berdakwah dan mendidik masyarakat, yaitu:
Memperluas dakwah dari masjid ke warung kopi, karena (kadang) di masjid terjadi perbedaan pendapat bahkan perselisihan.
Memilih dengan topik yang menyentuh hati, misal tentang hari akhir. Ia memilih metode yang sederhana dengan contoh–contoh dan kisah–kisah persuasif.
Berusaha menghindari titik khilafiyah dan mengajak orang–orang dengan cara yang halus, serta mengarahkan menuju amal.

Kafe di Mesir juga menjadi inspirator revolusi, forum sastra, dan tradisi sufi. Revolusi 1919 melawan kolonialisme Inggris dimulai dan dibangun dari Kafe Mitatia di bundaran Atabah, Jalan Muski, Kairo. Orang Mesir menganggap kafe sebagai miniatur negara. Segala persoalan negara: politik, ekonomi, sastra, sosial, budaya berikut ajang debat dan diskusi tokoh-tokoh diselenggarakan di kafe.

Pada awal abad ke-20, di kawasan Masjid Husain, Khan Khalili, dekat perpustakaan Al-Ghouri, yang dikelola Kementerian Wakaf terdapat Kafe Al Fishawi. Yaitu tempat ngopi dan diskusi tokoh-tokoh: Syaikh Jamaluddin Al Afghani, Umar Makram, Syaikh Al Basyari, dan Abdullah An-Nadim. Menjelang revolusi 1919 menurut sejarawan Hafidz Ibrahim, di kafe Al Fishawi ini menjadi tempat rahasia pertemuan delegasi Kristen Koptik dan ulama Al-Azhar untuk menyusun strategi revolusi.

Tak kalah menariknya, para pelajar dan ulama Al Azhar punya kafe khusus, namanya Kafe Afandia. Kafe ini juga pelopor kafe sastra. Ummu Kultsum menyusun lagu-lagunya ketika nongkrong di kafe ini. Sayang kafe ini tak dapat ditemukan lagi. Para Darwisy Sufi punya kafe khusus: Kafe Wali Ni’am. Dikisahkan perayaan maulid selalu digelar di sebuah kafe di kawasan Azbakia. Konon Napoleon Bonaparte, waktu itu, juga hadir. Perubahan sosial politik, Revoluis Perancis tahun 1789, dihiasi dan dikuatkan dengan percakapan para pegiatnya di warung kopi karena leluasa.

Kopi dan warung kopi saat ini bisa menjadi penanda kemanusiaan. Yaitu ketika peminum kopi duduk untuk membangun percakapan, dan meletakan telepon genggam atau telepon pintarnya. Betapa tekhnologi mempermudah urusan namun juga bisa menjadi perusak keindahan hubungan antar manusia. Betapa banyak manusia yang bertemu dalam suatu tempat, namun tidak berhubungan. Masing-masing sibuk berhubungan dengan yang maya, yang jauh, yang tak di depan mata. Seorang penggemar kopi berpidato kepada teman-temannya sebelum bersama-sama minum kopi: “Teman-teman yang baik, di tempat ini marilah kita menjadi anggota manusia yang sebenarnya, saling bertukar pandangan, menyimak, dan kegiatan makhluk sosial lainnya”

bahan bacaan:

A Passion of Coffee,
Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, Ulumul Qur’an, edisi 01/XXI/2012
http://nasermuhammad.blogspot.com

No comments:

Post a Comment