Detik-detik Ramadhan akan tiba mulai di rasa, ada kebahagiaan yang menyesap di dada, setiap kali menghitung hari berjumpa. Demikianlah yang di rasakan oleh orang yang takut kepada Allah.
Ramadhan sangat bahagia di jumpai, bagi mereka yang Allah berikan kepahaman berupa ilmu pengetahuan akan kemuliaan Ramadhan. Karenanya Maha benar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba Nya adalah mereka para Ulama.” (QS. Fathir: 28)
Hanya mereka yang paham akan nilai sesuatu lah yang paling menghargai sesuatu itu. Pun Ramadhan ia hanya dipersiapkan tibanya, bagi yang mengerti keutamaannya.
Diantara yang paling gigih mempersiapkan diri berjumpa dengan Ramadhan adalah para ulama. Mereka adalah yang di anugrahkan padanya ilmu dan kepahaman serta rasa takut yang besar oleh Allah.
Mengapa mereka sangat gigih? karena mereka adalah yang paling takut kepada Allah dan paling mengetahui keutamaan Ramadhan.
Karenanya Imam As-Sa’di –rahimahullah- ketika menafsirkan ayat di atas beliau berkata:
“Setiap orang yang pengetahuannya kepada Allah sangat mendalam, maka dialah orang yang banyak takut kepada Allah. Maka rasa takutnya kepada Allah mewajibkan dia menghindari perilaku maksiat dan selalu bersiap diri menjumpai yang ia takuti".
Beliau juga mengatakan, "Ini merupakan bukti dari keutamaan ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu menuntun untuk takut kepada Allah, dan orang yang biasa takut kepada Allah maka dia layak mendapat keridhoan-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhan-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 8)
Kegigihan mereka dalam mempersiapkan diri dalam menyambut ramadhan banyak kita jumpai terekam dalam kitab-kitab klasik para ulama.
Bagaimana mereka mampu melakukan amalan-amalan luar biasa di bulan Ramadhan semua itu tidak lepas dari persiapan mereka sebelum memasuki bulan suci.
Karenanya, banyak diantara mereka yang menghentikan segala aktifitas keduniaan mereka, ketika Ramadhan akan tiba. Utamanya pada bulan sya'ban, dan mulai mengganti kesibukannya dengan qur'an.
Dimana Habib bin Abi Tsabit mengatakan, “Bulan Sya’ban adalah bulan qura` (para pembaca Alquran)”. Sehingga pada bulan itu, para salaf fokus mengkonsentrasikan diri terhadap Alquran.
Amru bin Qais adalah salah satu diantranya, seorang ahli ibadah yang wafat tahun 41 Hijriyah ini, ketika Sya’ban tiba, ia menutup tokonya dan tidak ada aktivitas yang ia lakukan selain membaca Alquran.
Bulan Ramadhan di pandangan para ulama adalah bulan mulia yang amat dinanti-nanti, sehingga mereka mempersiapkan jauh-jauh untuk menyambut “tamu mulia” ini.
Betapa keilmuan mereka sangat mendalam dan pemuliaan mereka sangat tinggi karena pengetahuan mereka akan keutamaan dan kemuliaan Ramadhan.
Olehnya, As-Sirri as-Siqathi berkata: Tahun adalah pohon, bulan adalah cabangnya, hari-hari adalah dahannya, jam adalah daun-daunnya, dan napas hamba adalah buahnya. Maka bulan Rajab adalah hari-hari berdaunnya, Sya’ban adalah hari-hari bercabangnya, dan Ramadhan adalah hari-hari memetiknya, dan orang-orang beriman adalah para pemetiknya.
Karenanya, mereka menanam amal soleh yang demikian banyak, sebelum Ramadhan tiba. Sehingga saat bulan mulia itu tiba, ia telah siap memanen hasilnya.
Langkah dan persiapan yang mereka lalui untuk meraih kemulian Ramadhan memang tak sederhana.
Membaca kisah Taqi Ad Din As Subki (756 H) misalnya, dimana Beliau memiliki kebiasaan dikala datang bulan Rajab, yakni tidak pernah keluar dari rumah kecuali untuk melakukan shalat wajib, dan hal itu terus berjalan hingga Ramadhan tiba. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 10/168).
Hal ini ditempuh oleh beliau agar lebih mengkonsentrasikan diri dalam beribadah, sehingga ketika Ramadhan telah tiba, fisik dan batinnya sudah memiliki kesiapan untuk melakukan dan meningkatkan mujahadah dalam beribadah.
Selain itu, adapula Khatib As Syarbini (977 H), ulama Mesir penulis Mughni Al Muhtaj, juga memiliki cara tersendiri agar bisa konsentrasi melakukan ibadah ketika Ramadhan tiba. Yakni, tatkala terlihat hilal Ramadhan, beliau bergegas dengan perbekalan yang cukup untuk ber’itikaf di masjid Al Azhar, dan tidak pulang, kecuali setelah selesai menunaikan shalat ied. (lihat, biografi singkat As Syarbini dalam Mughni Al Muhtaj, 1/5)
Mereka dengan gagah melemparkan semua urusan dunia mereka dengan suka rela dan berpindah pada kondisi yang lain. Karena pemahaman mereka yang suci telah menggiring mereka untuk memfokuskan diri pada janji Allah yaitu ketakwaan.
Memahami betapa waktu beramal sangat singkat, sedang perjalanan menuju akhirat sangat panjang maka berbekal ketakwaan adalah niscaya.
Kiranya inilah yang membuat Abu Hurairah Radhillahu'anhu, menangis ketika sekarat menghadapi ajalnya padahal beliau adalah orang yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu’alahi Wasallam, yang bahkan digelari sebagai ulama di kalangan para sahabat, yang tidak perlu kita ragukan lagi keutamaannya.
Dalam tangisannya saat sekarat beliau berkata: “Aku tidak menangis karena urusan dunia kalian. Aku menangis karena telah jauh perjalananku, namun betapa sedikit bekalku. Sungguh kelak aku akan berakhir di surga atau neraka, dan aku tidak mengetahi mana yang diberikan padaku diantara keduanya” (HR Nu’aim bin Hammad dalam Az Zuhd, 159)
Menyaksikan mereka melakukan itu semua, tergidik tubuh ini. Betapa jauhnya jarak antara kita dan mereka.
Naser Muhammad
No comments:
Post a Comment