Nampaknya pemerintah gugup untuk mengambil keputusan lockdown sebagai upaya preventif dalam menghadapi virus corona.
Berbagai macam narasi demi mendukung ide agar lockdown tidak dijadikan langkah preventif terus digaungkan
"Otoriter." Ujar Menhan lantang. Entah kacamata apa yang menjadi ukuran bahwa lockdown itu otoriter. Bukankah keadaan Negara yang lebih mementingkan pertumbuhn ekonomi, daripada kematian rakyat jauh lebih otoriter?
Atau bukankah Negara yang justru membiarkan 49 orang TKA masuk ke negara ini dan membuat gaduh menyakiti warga negara yang sedang lokdown karena kesadaran pribadi lebih otoriter.
Jika lockdown memang adalah ukuran otoriter, maka sungguh mengecilkan langkah preventif yang diambil oleh negara-negara lain sebagai upaya menghindarkan negara mereka dari serangan wabah corona padahal terbukti efektif.
Seirama dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD juga menggaungkan narasi anti lockdown yang menurutnya sangat tak manusiawi.
Menurut beliau mungkin langkah manusiawi itu adalah, membiarkan para tenaga medis berjuang dengan APD dan fasilitas yang terbatas hingga merenggang nyawa tanpa sempat pamit dengan orang-orang tercinta.
Langkah pemerintah dalam melakukan penanganan pandemi global ini, seakan tak benar-benar serius sehingga lebih banyak menimbulkan kekhawatiran, daripada ketenangan.
Menhan dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM mungkin berdalih dengan Italia, padahal kita tau semua. Bahwa italia sangat terlambat dalam mengantisipasi keadaan negara mereka dalam mengambil langkah preventif, ditambah ketidak disiplinan warga negaranya juga menjadi salah satu problem sehingga italia tumbang.
Seharusnya negara justru belajar dari tumbangnya italia, terkait dengan langkah terlambat yang diambil oleh negara itu sehingga mengap-mengap melawan wabah corona.
Ada yang memperkirakan jumlah korban di indonesia akan lebih besar dari Italia bila pemerintah tidak sigap mengantisipasinya. Bahkan dalam hal ini Kementerian Kesehatan yang memiliki otoritas dalam kesehatan sudah mengisyaratkan akan adanya lonjakan jumlah penderita.
Jika itu benar adanya dan terjadi, maka bisa diprediksi Jakarta menjadi salah satu kota yang akan paling besar menanggung derita atau lebih sadisnya menjadi kuburan massal.
Mungkin inilah yang memicu Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli yang secara lugas menyebut Indonesia sebagai negara tanpa pemimpin. “A Nation Without Leader", setelah akhirnya beberapa kepala daerah menerapkan lockdown secara terbatas, tanpa mengindahkan instruksi persiden yang mengatakan bahwa lockdown adalah kebijakan pusat.
Kebijakan yang sering berubah, ketidak singkronan antara pernyataan dan kenyataan sejak merebaknya wabah corona. Pada akhirnya banyak kalangan yang meragukan tentang kualitas dan kemampuan pemerintah pusat dalam menangani pandemi ini. Bukan hanya dari kalangan domestik, namun juga komunitas internasional.
Wabah corona dengan potensi sebarannya yang begitu massif bila dibandingkan dengan fasilitas dan tenaga medis yang dimiliki negara ini sesungguhnya tidak ada pilihan lain, kecuali lockdown.
Wabah ini sudah pandemi dan bukankah para ulama telah sepakat bahwa sesuatu yang telah diprediksi kemunculannya pada hakikatnya telah ada, dan sesuatu yang sudah dekat kedatangannya harus diupayakan antisipasinya.
Lockdown selain efektif secara medis dia juga adalah anjuran agama dalam memutus mata rantai penyebaran wabah yang terbukti efektif dari masa ke masa. Bahkan manusia terbaik di dunia ini mengatakan,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Lockdown tidak sesederhana membuka sebuah pintu tertutup pun sebaliknya, tapi setidaknya pemimpin benar-benar di uji sejauh mana kemampuan leader yang dimilikinya. Mampukah pemimpin itu mengambil langkah cepat, tepat dan cermat dalam menghitung cost ekonomi serta sosial dan politik yang akan menghadang tepat di hadapan.
Bagai kapal titanik di depan gunungan batu es mampukah nahkoda mengendalikan bahteranya? itulah yang kan membuktikan ia memang leader atau dia hanya dealer.
Naser Muhammad
No comments:
Post a Comment