KEPEMIMPINAN dalam islam adalah sesuatu yang berat, urusannya bukan semata pertanggungjawabannya di dunia. Tapi juga di akhirat. Mempertanggungjawabkannya adalah kata terpanjang dalam bahasa indonesia menunjukkan betapa beratnya proses bertanggung jawab itu.
وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
"Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim no. 1825).
Tetapi, jika kita menyaksikan fenomena belakangan ini. Amanah pertanggung jawaban yang ada pada kepemimpinan nampaknya tidak banyak menghadirkan ketakutan kepada orang yang memiliki ambisi yang sangat besar untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Padahal Nabi telah bersabda dalam sebuah hadits,
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita” (HR. Bukhari no. 7148)
Hari ini sabda itu dapat kita saksikan sendiri betapa bahkan ada yang berani menggelontorkan dana yang tidak sedikit demi melancarkan keinginanya untuk medapatkan jabatan yang dimaksud. Walau lewat jalan yang hina sekalipun.Tidak jarang kita saksikan mereka menghalalkan berbagai macam cara, demi untuk mendapatkan jabatan itu.
Belum lagi untuk mendapatkan jabatan itu, harta merupakan satu-satunya modal yang dia miliki, sedikitpun tidak punya keterampilan memimpin yang mumpuni, dan juga disiplin ilmu terkait dengan amanah publik yang di embannya.
Efeknya kemudian alih-alih hadir untuk memimpin dengan amanah, mereka hanya hadir sebagai penipu dan penindas bagi rakyat yang dipimpinnya.
Segala bentuk kebijakan yang dia ambil selalu melukai hati rakyat, karena kebijakan yang dia hadirkan semata untuk kepuasan nafsunya saja.
Andai mereka tau betapa mengerikannya acaman bagi pemimpin penipu, niscaya ia akan bergidik membayangkannya.
Disebutkan dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu Anhu ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat kemudian ketika mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan baginya surga”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pondasi kepemimpinan adalah sifat jujur dan amanah, dua hal ini yang harus ditunaikan sebagai amanah kepemimpinan yang tidak bisa ditawar-tawar.
أَوَّلهَا مَلَامَة ؛ وَثَانِيهَا نَدَامَة ، وَثَالِثهَا عَذَاب يَوْمَ الْقِيَامَة ، إِلَّا مَنْ عَدَلَ
“Awal (dari ambisi terhadap kekuasaan) adalah rasa sakit, lalu kedua diikuti dengan penyesalan, setelah itu ketiga diikuti dengan siksa pada hari kiamat, kecuali bagi yang mampu berbuat adil.”
Disinilah pentingnya agama menjadi pendamping bagi amanah kekuasaan, dan
pentingnya kekuasaan sejak awal disadari oleh pemahaman agama yang sohih. Ulama mengatakan,
اَلدِّيْنُ وَ السُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ وَ قِيْلَ الدِّيْنُ أُسٌّ وَ السُّلْطَانُ حَارِسٌ فَمَا لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَ مَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Abdillah al-Qal’i, Tadrîb ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, 1/81).
Pemahaman akan agama yang baik, tentu akan menjadi pertimbangan. Untuk tidak melakukan bentuk-bentuk penghianatan, sebab menyadari bahwa ancaman atas kezaliman, dan penipuan terhadap amanah kepemimpinan, sangat luar biasa.
Ketidak jujuran dan penipuan atas amanah kepemimpinan adalah bentuk kemunafikan yang murni. Sebagaimana telah disebutkan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat sifat, barangsiapa yang empat itu ada padanya, maka ia adalah orang munafik murni. Dan barangsiapa yang ada padanya satu sifat, maka terdapat satu sifat dari nifak, sehingga ia meninggalkannya, yaitu: Apabila dipercaya, khianat, apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi, dan apabila bertengkar ia keji”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Karenanya, seorang pemimpin semestinya senantiasa bersikap jujur dalam mengemban amanah kepemimpinan, yang telah dipikulkan dipundaknya. Larangan hianat adalah perintah Allah Ta’ala, sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS. al-Anfal: 27).
Karenanya Rasulullah mengatakan dalam sabdanya,
نِعْمَ الشَّيْء الْإِمَارَة لِمَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَحِلِّهَا ، وَبِئْسَ الشَّيْء الْإِمَارَة لِمَنْ أَخَذَهَا بِغَيْرِ حَقّهَا تَكُون عَلَيْهِ حَسْرَة يَوْم الْقِيَامَة
“Sebaik-baik perkara adalah kepemimpinan bagi yang menunaikannya dengan cara yang benar. Sejelek-jelek perkara adalah kepemimpinan bagi yang tidak menunaikannya dengan baik dan kelak ia akan merugi pada hari kiamat.”
Olehnya, sesiapa saja yang tidak sudi untuk dibangkitkan oleh Allah dalam kondisi berada di bawah panji kemunafikan, maka hendaklah dia senantiasa menjaga amanah kepemimpinan yang dipikulnya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لَهُ بِقَدْرِ غَدْرِهِ أَلاَ وَلاَ غَادِرَ أَعْظَمُ غَدْرًا مِنْ أَمِيرِ عَامَّةٍ
“Setiap pengkhianat itu ada benderanya pada hari kiamat, di mana bendera itu ditinggikan sesuai dengan kadar khianatnya. Ketahuilah, tidak ada pengkhianat yang lebih besar melebihi khianatnya pemimpin umum”. (HR. Muslim). Wallahu A’lam.
*Naser Muhammad
No comments:
Post a Comment