Monday, September 5, 2016

MEMBACA PINTU KEJAYAAN YANG TERABAIKAN Part 1


Oleh Naser Muhammad
#SarapanKataKMO01

Berdasarkan rekaman data dari hasil survey The United Nation Of Education Social and Cultural (Unesco) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012, jumlah masyarakat yang memiliki minat baca hanya 1:1.000. Artinya, dari 1.000 penduduk Indonesia, hanya satu yang memiliki minat baca. Sisanya, 999 orang, kurang memiliki keinginan untuk membaca.

Jika melihat data tersebut, berarti dari 255 juta jiwa penduduk Indonesia terdapat 255 ribu orang yang suka membaca. Dan, sebanyak 252,45 juta jiwa tak ada keinginan untuk membaca. Sungguh merupakan urutan angka yang sangat memprihatinkan.

Semoga data itu hanyalah sebuah kesalahan angka, namun jika bukan. Maka generasi ini perlahan sedang berada diambang yang sangat memperihatinkan.

Membaca sesungguhnya merupakan sebuah aktifitas yang mengasyikkan, hanya saja membaca bagi sebagian orang sering kali karna sekedar keinginan, belum merupakan sebuah kebutuhan. Akhirnya seringkali membaca hanya sebatas aktifitas sambilan yang dilakukan berdasarkan mood dan disaat keinginan muncul. Sehingga disaat keinginan membaca hilang maka mati pula lah aktifitas itu.

Akhir-akhir ini bisa dilihat, dan bisa dibaca. Bagaimana kabar survey dari beberapa lembaga survey yang kompoten tentang merosotnya dan menghawatirkannya budaya baca khususnya dikalangan para penerus estafeta generasi mendatang, yaitu para pemuda. Miris dan ironis. Sebab hampir saja budaya membaca musnah bersama dengan aliran darah sejarah dan salah satunya adalah hasil survey yang telah dikemukakan diawal.

Nampaknya, generasi muda hari ini yang seharusnya memiliki rasa tanggung jawab, sebagai manifestasi dari generasi pelanjut yang kemudian sangat diharapkan mampu mendobrak tabir penghalang yang telah lama membentengi gerakan percepatan peradaban masih sangat mengecewakan.

Bagaimana tidak, jika melihat kebiasaan-kebiasaan generasi muda kini yang lebih cenderung menggenggam smartphonenya daripada menggenggam buku di waktu luangnya. Kemajuan teknologi telah membuat generasi ini menghianati tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemegang tongkat estafet. Teknologi yang semakin pesat membuat kultur yang seharusnya dipertahankan justru malah digadaikan.

Dapatlah kemudian dilihat dan disurvey kecil-kecilan secara pribadi dengan melihat dan memperhatikan keadaan sekitar saat tengah berada di angkutan umum misalnya, dulu sebelum merebaknya smartphone serta mahalnya tarif provider banyak penumpang yang mengisi kejenuhan perjalanannya dengan membaca buku. Tapi hari ini kebiasaan membaca buku sudah mulai ditinggalkan, jangankan membaca, membawa buku saja sudah merupakan sesuatu yang amat langka sebab waktu mereka lebih banyak disita oleh aktifitas mendengarkan musik dan chatting dengan fitur-fitur yang berada didalam smartphone.

Smartphone sesungguhnya tidak salah sebab benda tetaplah benda, dan benda itu amat sangat tergantung kepada siapa pemakainya. Bercermin kepada salah satu negara yang merupakan sumber kecanggihan teknologi yaitu Jepang yang justru semakin canggih dalam memproduksi berbagai teknologi handal namun mereka tetap tak meninggalkan budaya membaca dalam kegiatan keseharian mereka.

Jepang merupakan salah satu negara maju di kawasan asia, bahkan di kancah dunia. Banyak sekali cerita yang mengangkat tema orang jepang, mulai dari kebiasaan disiplin ala samurai hingga budaya membaca mereka yang luar biasa mengagumkan.

Teknologi sesungguhnya adalah alat untuk mempermudah, jika saja kekuatan teknologi itu digenggam oleh individu yang tepat. Sebab Pengetahuan sesungguhnya tak sekedar didapat dari bangku sekolah formal semata, bagi mereka yang dianugerahi kreatifitas tinggi maka pasti memiliki cara agar teknologi itu bukan hanya sekedar untuk memenuhi gaya hidup semata namun dapat memberikan keuntungan bagi peningkatan ilmu pengetahuan dan pengembangan diri, dan salah satunya adalah mampu menggunakan kecanggihan teknologi.

Sesungguhnya kekuatan teknologi, jika berada pada genggaman individu yang kreatif dan peka terhadap nilai-nilai maka niscaya dapat  sebijak mungkin dalam menggunakan fasilitas tersebut kearah yang lebih bermanfaat.

Namun sebaliknya, Jika teknologi yang seharusnya sebagai alat malah justru memperalat. Maka tidak ada ubahnya mereka sesungguhnya hanyalah menyerahkan diri dan memposisikan diri menjadi ‘korban’ dari mengerikannya industri teknologi ini.

Mereka yang diharapkan dapat melepaskan generasi tua dari belenggu kegelapan teknologi malah justru terjerembab ke dalamnya, bukan hanya sekedar menghapus nilai-nilai positif sebuah kultur peradaban mereka justru telah menjualnya dengan harga yang cukup murah.

Jika hal tersebut memanglah terjadi, maka sungguh bukanlah sebuah keanehan dan survey diatas tak bisa menyangkal jika budaya membaca di Indonesia memang tengah memiliki posisi menyedihkan. Dan rank yang jauh dibawah negara-negara maju lainnya cukuplah menjadi sebuah bukti.

Karena nilai merupakan sebuah tahta, maka jika nilai sebuah bangsa yang telah terluka butuh waktu yang panjang untuk mengembalikannya maka budaya "membaca" merupakan value sebuah bangsa untuk mengembalikan sebuah kejayaan yang terkubur.

BERSAMBUNG 👉 MEMBACA PINTU KEJAYAAN YANG TERABAIKAN Part 2 http://nasermuhammad.blogspot.com/2016/09/membaca-pintu-kejayaan-yang-terabaikan.html

#1000penulismuda
#KMOIndonesia
nasermuhammad.blogspot.com
06.09.2016 Bunyu Island

No comments:

Post a Comment