Akhir-akhir ini kita banyak sekali disuguhkan dengan tulisan tulisan yang nampaknya sangat baik tapi tidk benar-benar baik ketika kita menelaahnya secara teliti dengan pemahaman tauhid yang mendalam. Beberapa di antaranya,
"Virus Corona itu tentara Allah. Dengan ke masjid dia akan hilang, jangan mau dilarang ke masjid."
"Mati itu urusan Allah. Buat apa kita sholat di rumah karena corona."
"Mengapa lebih takut virus Corona. Harusnya lebih takut kepada Allah."
"Kalau sudah takdir Allah kita mati, ya mati. Tak perlu menghindari corona."
Sepintas kita akan merasa wow, dengan perkataan seperti ini, imannya mungkin sangat kuat, dan tawakkalnya mungkin sangat tinggi. Hingga terlontarlah perkataan-perkataan seperti itu.
Padahal jika kita benar-benar belajar tentang tauhid, tentang apa itu tawakkal, maka kita akan menemui bahwa tawakkal itu bersandar pada dua hal. Yang pertama menempuh dan melakukan sebab/usaha, dan yang kedua berdoa memohon bantuan kepada Allah serta menyerahkan hasilnya kepada Allah juga ridha dengan apapun yang Allah takdirkan setelahnya.
Artinya bahwa, iktiar tak pernah bisa dibenturkan dengan tawakkal selamanya. Iktiar dan tawakkal harus senantiasa seiring dan sejalan.
Inilah yang seringkali salah dipahami oleh sebagian orang, yaitu memahami bahwa tawakal itu sekedar “pasrah”. Tanpa harus melakukan sebab atau usaha dengan apapun.
Perhatikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai “tawakalnya burung”.
ﻟَﻮْ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻮَﻛَّﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺣَﻖَّ ﺗَﻮَﻛُّﻠِﻪِ ﻟَﺮُﺯِﻗْﺘُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻳُﺮْﺯَﻕُ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮُ ﺗَﻐْﺪُﻭ ﺧِﻤَﺎﺻًﺎ ﻭَﺗَﺮُﻭﺡُ ﺑِﻄَﺎﻧًﺎ
“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR.Tirmidzi, hasan shahih)
Apakah burung tersebut mendapatkan makanan karena dia hanya berada di dalam sarangnya, ataukah karena dia berusa dengan mengunakan segala potesi yang dimilikinya untuk terbang mencari rezki yang terserak.
Perhatikanlah bagaimana tawakkal yang dicontohkan burung itu dia pergi dalam keadaan lapar bukan diam dan berdoa dalam keadaan lapar tanpa terbang ke mana-mana.
Ada tiga hal yang dilakukan oleh burung tersebut, Pertama, burung tersebut berusaha keluar sarang sebagai bentuk usaha, kedua tidak tinggal diam meratapi nasibnya, dan yang ketiga optimis dengan rezeki Allah, bahwa Allah pasti memenuhi kebutuhannya.
Terkait dengan hadits di atas, Al Munawi mengatakan,
”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan ikhtiar, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah)
Karenanya, Syaikh Abdurrahman Al-Mubarakfuri menjelaskan terkait dengan hadits tentang tawakkalnya burung tersebut maka beliau mengatakan,
ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻜﺴﺐ ﺑﻞ ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﺮﺯﻕ
“Hadits ini tidak menunjukkan bahwa kita harus meninggalkan usaha (menempuh sebab), akan tetapi menunjukkan agar melakukan usaha untuk mencari rezeki (Tuhfatul Ahwadzi, syaikh Al-mubarakfury)
Suatu kali Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan,”Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rizkiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan,”Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits tentang burung di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)
Syahdan dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya lalu tawakal kepada Allah Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya ? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakal !” (HR. At-Tirmidzi no. 2517, hasan)
Tawakkal senantiasa butuh ikhtiar, dan ikhtiar juga tidak boleh dilepaskan tanpa tawakkal. keduanya harus senantiasa selaras dalam langkah.
Olehnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
فالإلتفات الى الأسباب شرك فى التوحيد و محو الأسباب أن تكون أسبابا نقض فى العقل و الأعراض عن الأسباب المأمور بها قدح فى الشرع فعلى العبد أن يكون قلبه متعمدا على الله لا على سبب من الأسباب و الله ييسر له من الأسباب ما يصلحه فى الدنيا و الأخرة
“Mengandalkan sebab atau usaha itu menodai kemurnian tauhid, Tidak percaya sebab adalah tindakan merusak akal sehat. Tidak mau melakukan usaha atau sebab adalah celaan terhadap syariat (yang memerintahkannya). Hamba berkewajiban menjadikan hatinya bersandar kepada Allah, bukan bersandar kepada usaha semata. Allahlah yang memudahkannya untuk melakukan sebab yang akan mengantarkannya kepada kebaikan di dunia dan akherat” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 8/528)
Bahkan, Sahl At Tusturi mengatakan, ”Barangsiapa mencela ikhtiar maka dia telah mencela sunnatullah, dan barangsiapa yang mencela tawakkal maka dia telah meninggalkan keimanan. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)
Maka terkait dengan wabah yang ahir-ahir ini demikian ramai di jadikan topik bahasan, yang memang telah menjatuhkan banyak korban dari beberapa negara. Maka perlu adanya antisipasi dini dengan mengikuti saran orang-orang yang memang memiliki displin pengetahuan terkait dengan antisipasi penularan dan penyebarannya.
Bagi daerah yang memiliki dampak penyebaran tinggi dan tidak memungkinkan untuk daat melaksanakan shalat jamaah di masjid karena khawatir membahayakan diri dan juga orang lain sudah sepatutnya berlapang dada untuk tidak memaksakan diri sebagai bentuk aplikasi hadits,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh melakukan mudorot pada diri sendiri dan juga memudorotkan orang lain.” (HR Ibnu Majah)
Bagi daerah yang masih memungkinkan, untuk melakukan shalat jamaah maka tetaplah melakukannya, dengan memperhatikan kesehatan dan keamanan bersama, tanpa harus mengecilkan yang tak bisa melakukan di daerahnya karena udzur syar'i.
Tetaplah berusaha maksimal sebagai wujud iktiar, melakukan langkah-langkah antisipasi lalu bertawakallah pada Allah. Bukankah Allah memang memerintahkan kita untuk senantiasa siaga dalam segala kondisi dengan firmanNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu,..." (An-nisa 71).
Bersiaplah, berusahalah dan bertawakallah dengan sebaik baik tawakal. Hanya pada Allah semua mahluk bergantung.
Senantiasalah berdoa kepada Allah, karna iktiar itu doa yang di usahakan dan usaha yang senantiasa terdoakan.
Naser Muhammad
No comments:
Post a Comment