1. ISOLASI DIRI
Isolasi diri adalah langkah efektif menghentikan laju penyebaran wabah, langkah ini juga diajarkan oleh Rasulullah dalam haditsnya,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Pada tahun 749 Hijriyah terjadi waba’ (endemi) di Syam. Menghadapi itu, muslimin keluar dan berkumpul untuk berdo’a. Setelah itu justru jumlah korban yang terkena waba’ semakin banyak dan meluas. 15 tahun kemudian, yaitu pada tahun 764 hijriyah, barulah untuk pertama kali para ulama berkumpul kembali seperti sediakala, sungguh sebuah rentang waktu yang sangat panjang kala itu.
Social distancing atau lockdown sebetulnya sudah lama menjadi perbincangan akademis dikalangan kaum muslimin, bukan sesuatu yang baru. Karenanya menjadi solusi islam dari masa ke masa dalam upaya menghadapi wabah.
Suatu kali endemi pernah terjadi di Mesir pada tahun 833 hijriyah. Dalam sehari, korban yang meninggal dunia mencapai 40 orang. Mereka kemudian keluar dan berkumpul untuk berdo’a, melakukan istighatsah dan setelah itu jumlah korban yang meninggal dunia justru semakin banyak. Bahkan mencapai 1000 setiap harinya.
Karena itulah, Syaikhul Islam Al-Imam Al-hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menegaskan sikapnya berdasarkan hujjah yang kuat, sejalan dengan sebagian ulama di kala itu yang memfatwakan larangan keluar berkumpul, meskipun dimaksudkan untuk berdo’a dan ibadah pada saat terjadi waba’. Larangan keras ini difatwakan karena khawatir waba’ semakin meluas.
Fatwa serta sikap beliau dalam menghadapi wabah bisa di dapatkan di kitab karangan beliau yang berjudul Badzlul ma’un fi fadhli at-tha’un.
2. BOLEHNYA SOLAT DI RUMAH
Akhir-akhir banyak terjadi perbincangan tentang boleh-tidaknya melaksanakan shalat jamaah di masjid kala wabah menyebar.
Hal ini sesungguhnya juga bukan hal baru, kondisi ini pernah terjadi beberapa abad sebelumnya.
Diriwayatkan dari seorang Tabi'in yang mulia, Masruq bin Al Ajda' Al Wadi'i Rahimahullah:
كان يمكث في بيته أيام الطَّاعُونِ ويَقُولُ: أَيَّامُ تَشَاغُلٍ فَأُحِبُّ أَنْ أَخْلُوَ لِلْعِبَادَةِ فَكَانَ يَتَنَحَّى فَيَخْلُو لِلْعِبَادَةِ ,
قَالَت زوجته:
فَرُبَّمَا جَلَسْتُ خَلْفَهُ أَبْكِي مِمَّا أَرَاهُ يَصْنَعُ بِنَفْسِهِ وَكَانَ يُصَلِّي حَتَّى تَوَرَّمَ قَدَمَاهُ".
(الطبقات لابن سعد ج٦ ص٨١)
"Beliau berdiam diri dalam rumahnya pada hati-hari merebaknya wabah Thaa'un, seraya berkata: "Hari-hari penuh kepayahan, dan aku ingin fokus beribadah". Lalu beliau mengambil sudut rumah dan berkhalwat untuk ibadah.
Istrinya berkata: "Kadang aku duduk di belakangnya sambil menangis menyaksikan apa yang beliau lakukan atas dirinya. Adalah Beliau shalat hingga kedua kakinya bengkak-bengkak".
(Ibnu Sa'ad, Ath-Thabaqaat, 6/81).
Dahulu Mesir pernah mengalami endemi. Ibnu Hajar menukil perkataan Imam Adz-Dzahabi rahimahuLlahu Ta’ala dalam kitabnya Siyar A’lam An Nubala’ tentang penutupan masjid saat terjadi waba’.
Al Imam Al Hafizh Adz Dzahabi Rahimahillahu berkata:
وفي سنةِ ثمانٍ وأربعين وأربعمائةٍ كَانَ القَحْطُ عَظِيْماً بِمِصْرَ وَبَالأَنْدَلُس، وَمَا عُهِدَ قَحْطٌ وَلاَ وَبَاءٌ مِثْله بقُرْطُبَة، حَتَّى بَقِيَت المَسَاجِدُ مغلقَة بِلاَ مُصَلٍّ، وَسُمِّيَ عَام الْجُوع الكَبِيْر. ينظر سير أعلام النبلاء (18/311) طبعة الرسالة من الشاملة.
"Pada tahun 448 H, terjadi kekeringan (paceklik) besar di Mesir dan Andalusia. Belum pernah sebelumnya terjadi kekeringan dan tidak pula wabah seperti itu di Cordoba, hingga masjid-masjid terpaksa ditutup dan tidak ada orang yang shalat. Saat itu dinamakan Tahun Kelaparan Hebat (The Great Famine Year)."
(Adz Dzahabi, Siyar A'lam An Nubala', 18/311)
Periode itu secara kontemporer dikenal dalam bahasa Irlandia sebagai An Drochshaol "masa-masa sulit" (atau secara harfiah diartikan, "Kehidupan Yang Buruk").
Al Maqriziy berkata tentang wabah Thaa'un yang terjadi tahun 749 di Mesir:
وتعطل الأذان من عدة مواضع وبقي في الموضع المشهور بأذان واحد... و غلقت أكثر المساجد و الزوايا
(السلوك لمعرفة دول الملوك 88/4)
"Di banyak tempat Azan ditiadakan. Tinggallah azan hanya sekali di satu tempat yang terkenal... (Saat itu) banyak masjid dan surau-surau yang terpaksa ditutup". (As Suluk li Ma'rifah Dual Al Muluk, 4/88).
Bahkan di dalam sebuah hadits Rasulullah pernah memerintahkan solat di rumah hanya karena hujan deras, dimana kita tau bahwa wabah jauh lebih layak dihindari dari pada sekedar air hujan. Dimana beliau bersabda,
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».
Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian]. Kemudian beliau mengatakan, ”Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].” (HR. Muslim no. 697).
Atau sabdanya juga dalam hadits yang senada,
حَدَّثَنِى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.
Dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwasanya dia pernah beradzan untuk shalat di malam yang dingin, berangin kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di akhir adzan, “Alaa shollu fi rihaalikum, alaa shollu fir rihaal” [Hendaklah shalat di rumah kalian, hendaklah shalat di rumah kalian]’. Kemudian beliau mengatakan, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau bersafar (perjalanan jauh) agar mengumandangkan, “Alaa shollu fi rihaalikum” (Hendaklah shalat di kendaraan kalian masing-masing). (HR. Muslim no. 697).
Ibnu Baththol mengatakan,
أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ التَّخَلُّفَ عَنِ الجَمَاعَةِ فِي شِدَّةِ المَطَرِ وَالظُّلُمَةِ وَالرِّيْحِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، مُبَاحٌ.
”Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa meninggalkan shalat berjama’ah ketika hujan deras, malam yang gelap dan berangin kencang dan udzur (halangan) lainnya adalah boleh.” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/364).
Hanya saja perlu dilihat seberat apa kondisinya, jika masih sangat memungkinkan untuk melaksanakan solat berjamaah karena wabah masih sangat kecil penyebarannya maka yang lebih afdol adalah ke masjid.
3. BOLEH MENGGANTI LAFADZ DALAM ADZAN
Mengganti lafadz adzan khususnya pada ucapan hayya alassolah dengan beberapa lafadz yang sesuai dengan tuntunan hadits.
Beberapa lafadz diantaranya,
أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ
Hendaklah shalat di rumah kalian,
أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ
Hendaklah shalat di rumah kalian, atau ucapan,
صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ
Sholatlah di rumah kalian sebagaimana redaksi hadits di bawah ini,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِى يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ – قَالَ – فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, ”Orang yang lebih baik dariku telah melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 699)
4. SHALAT JUMAT DIGANTI DUHUR 4 RAKAAT
Jika kondisi masih memungkinkan untuk melaksanakan solat jumat karena paparan di tempat itu masih sangat rendah, maka solat jumat masih lebih afdol di laksankan.
Namun, di daerah yang potensi penyebarannya sudah meluas maka solat di rumah dengan cara mengganti jumat dengan dzuhur lebih di anjurkan.
Pasien yang terkena virus jika dia mengetahui keadaannya bahwa dia telah terpapar, maka diharamkan baginya untuk menghadiri shalat Jumat dan shalat berjamaah, hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
“Jangan dikumpulkan yang sakit dengan yang sehat.” (HR. Bukhari, no. 5771 dan Muslim, no. 2221)
5. TIDAK KE MASJID KARENA UDZUR SYAR'I PAHALANYA SAMA
Kehawatiran sebagian orang yang terhalang ke masjid karena udzur semisal wabah, adalah merasa terhalang dari pahala yang besar yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا تَطَهَّرَ الرَّجُلُ، ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ يَرْعَى الصَّلَاةَ، كَتَبَ لَهُ كَاتِبَاهُ أَوْ كَاتِبُهُ، بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الْمَسْجِدِ عَشْرَ حَسَنَاتٍ، وَالْقَاعِدُ يَرْعَى الصَّلَاةَ كَالْقَانِتِ، وَيُكْتَبُ مِنَ الْمُصَلِّينَ مِنْ حِينِ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِ
”Jika seseorang bersuci kemudian pergi ke masjid untuk memelihara shalatnya, maka dicatat baginya sebanyak sepuluh kebaikan untuk setiap langkahnya ke masjid. Dan orang yang duduk (menunggu shalat) untuk memelihara shalatnya, dia seperti orang yang melaksanakan ketaatan dan dicatat sebagai orang yang mengerjakan shalat ketika keluar dari rumahnya sampai kembali lagi.“ (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban. Di-shahih-kan oleh Syaikh Albani).
Padahal, dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Dari hadits itulah kemudian, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6: 136)
6. WAFAT KARNA WABAH (THAUN) DIGANJAR SYAHID JIKA DIA MUSLIM YANG SABAR DAN RIDHO
Dari Jabir bin ‘Atik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
“Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban ath-tha’un (wabah) adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya, pen.) adalah syahid.” (HR. Abu Daud, no. 3111. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat keterangan ‘Aun Al-Ma’bud, 8: 275)
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan syahid adalah, malaikat menyaksikan bahwa mereka mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir hidup yang baik). (Lihat Fath Al-Bari, 6:43)
Wallahu A'alam
Al faqiir Ila robbirrohim NASER MUHAMMAD