Friday, April 17, 2020

UMMUL MUKMININ AISYAH ISTRI RASULULLAH


Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan lantunan nyanyian yang menceritakan salah satu istri Rasulullah ummul mukminin Aisyah.

Tentu kita sangat bersyukur, jika ada yang demikian menyanjung beliau. Tentunya hal itu karena kecintaan mereka terhadap ummul mukminin Aisyah.

Namun apakah menyanjung saja sudah cukup, tentu tidak. menyanjung memang penting, namun ada hal lain yang lebih indah dari cerita kehidupannya yaitu adalah Adabnya sebagai seorang istri, serta bagaimana Allah menjaga kehormatannya.

Penyanjungan sampai kapanpun takkan berbuah pahala, sampai engkau meneladani sosoknya.

Aisyah adalah wanita suci yang Allah abadikan dalam Al qur'an bahkan menjadi sebab turunnya surah An nur.

Aisyah adalah wanita yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan dalam sabdanya:

“Orang yang mulia dari kalangan laki-laki banyak, namun yang mulia dari kalangan wanita hanyalah Maryam binti Imron dan Asiyah istri Fir’aun, dan keutamaan Aisyah atas semua wanita seperti keutamaan tsarid atas segala makanan.” (HR. Bukhari (5/2067) dan Muslim (2431))

Setidaknya, ada sembilan hal yang yang ada padanya yang tidak dimiliki oleh wanita lain dimana Aisyah berkata : 

“Aku telah diberi sembilan perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun setelah Maryam. Jibril telah menunjukkan gambarku tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah untuk menikahiku, beliau menikahiku tatkala aku masih gadis dan tidaklah beliau menikahi seorang gadis kecuali diriku, beliau meninggal dunia sedang kepalanya berada dalam dekapanku serta beliau dikuburkan di rumahku, para malaikat menaungi rumahku, Al-Quran turun sedang aku dan beliau berada dalam satu selimut, aku adalah putri kekasih dan sahabat terdekatnya, pembelaan kesucianku turun dari atas langit, aku dilahirkan dari dua orang tua yang baik, aku dijanjikan dengan ampunan dan rezeki yang mulia.” (Lihat al-Hujjah Fi Bayan Mahajjah (2/398))

Aisyah adalah pembelajar sejati, wanita penuntut ilmu. Beliau tercatat termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadits dan memiliki keunggulan dalam berbagai cabang ilmu di antaranya ilmu fikih, kesehatan, bahkan syair-syair Arab.

Bunda Aisyah tercatat telah meriwayatkan sebanyak 1.210 hadits yang telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim dan 174 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari serta 54 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. 

Karenanya, Aisyah adalah rujukan para sahabat tatkala mereka mendapatkan permasalahan yang rumit.

Kecintaan Rasulullah atas Aisyah tak ada bandingannya dengan istri selainnya. Suatu kali Amr bin al-Ash bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

“Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” “Dari kalangan laki-laki?” tanya Amr. Beliau menjawab, “Bapaknya.” (HR. Bukhari (3662) dan Muslim (2384))

Karenanya ummu salamah pun pernah ditegur oleh nabi perihal Aisyah,

يَا أُمَّ سَلَمَةَ لاَ تُؤْذِينِى فِى عَائِشَةَ ، فَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا نَزَلَ عَلَىَّ الْوَحْىُ وَأَنَا فِى لِحَافِ امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ غَيْرِهَا

‘Wahai Ummu Salamah, jangan engkau menyakiti aku lantaran ‘Aisyah karena sesungguhnya–demi Allah–tidak pernah turun kepadaku wahyu sedang aku berada di selimut seorang istriku di antara kamu, kecuali dia (Aisyah).” (HR. Bukhari, no. 3775)

Ujian dan tempaan Aisyah menjadi sosok istri yang sangat dicintai Nabi memang sangat tidak mudah. Rumah tangganya dengan Nabi bukan tidak ada masalah.

Suatu kali Aisyah dituduh berzina, ujian yang sangat berat dia harus tanggung, justru saat ia tengah sakit. Aisyah sakit selama sebulan dan Rasulullah tak menjenguknya.

Aisyah keheranan sebab tak biasanya Rasulullah melakukan itu, hingga pada akhirnya sampai jugalah kabar tentang tuduhan itu ketelinganya.

Satu bulan penuh tak jumpa dalam kondisi sakit, tak ada yang menghiburnya, Aisyah menangis dalam kesepian tanpa Rasulullah.

Tetiba Rasulullah datang dan duduk disampingnya, lalu mengatakan sebuah perkataan yang sangat berat di dada Aisyah.

"Wahai Aisyah jika engkau benar melakukannya, maka bertaubatlah kepada Allah". Betapa berat perkataan ini bagi Aisyah.

Ketika Rasulullah mengatakan hal itu, mengeringlah airmatanya mendengarkan perkataan itu. Seakan akan Rasulullah membenarkan tuduhan itu atas dirinya sebagaimana yang lainnya.

Maka Aisyah pun mengatakan, "seandinya saja saya berkata tidak, maka kalian pasti tak mempercayaiku".

Tak ada yang bisa kukatakan hari ini kecuali apa yang ya'kub katakan,

فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ

"Maka kesabaran itulah yang terbaik bagiku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan".

Setelah mengatakan itu, ia pun menyelimuti dirinya lalu menangis sejadi-jadinya.

Pada saat itulah kemudian turun wahyu pada Rasulullah, mengabarkan sekaligus membersihkan namanya dari tuduhan yang sangat keji. Detik-detik turunya 9 ayat diawal-awal surah An nur.

Gelombang ujian besar ini beliau lewati, dengan penuh keimanan. Ujian berat yang sangat sulit dilewati telah ia hadapi dengan ketulusan iman. Hal inilah yang harusnya menjadi teladan para wanita muslimah yang mengaku mencintainya.

*Naser Muhammad

BAHAYA CORONA BAGI KEMANUSIAAN


Seorang musisi baru saja meninggal dunia, menjadi headline dimana mana, sedang puluhan dokter mengalami nasib yang sama, meninggal dalam kondisi perang dengan alat seadanya, tapi sepi dari berita.

Beberapa berita yang lebih menyakitkan dari kematian mereka adalah, penolakan jasad para pahlawan ini tak ada yang sudi menerima. Beberapa bahkan diusir dari tempat tinggalnya.

Keadaan ini sungguh miris, karena corona bukan hanya membunuh manusia, ia juga mulai membunuh kemanusiaan. Bahaya kematian manusia akibat corona tak lebih menghawatirkan, daripada matinya kemanusiaan akibat corona.

Negri ini bukan hanya sedang berada diambang krisis moniter, ia juga berada di gerbang krisis moral dan kemanusiaan.

Krisis ini sangat berbahaya, karena dari semua krisis yang ada mulai dari Krisis Energi, Krisis Lingkungan, Krisis Pangan sampai kepada Krisis Ekonomi, hanya Krisis Kemanusiaan saja yang paling bisa menjadi asbab keruntuhan peradaban manusia.

Krisis kemanusiaan melahirkan sikap destruktif, dimana seseorang berani melakukan sebuah kejahatan yang terang, lalu menganggapnya biasa.

Krisis kemanusiaan adalah problem yang harus cepat diatasi sebab jika ini berlanjut maka ia akan melahirkan manusia-manusia mati rasa.

Negara harus secepatnya hadir mengambil langkah kongkrit, untuk meretas persoalan ini bukan sekedar menghimbau agar tidak panik. Tapi justru negara seringkali menjadi muara kepanikan, dengan kebijakan yang minim solusi.

Umat Islam juga dengan dengan keagungan agamanya mesti menggunakan pesan-pesan langit sebagai alat untuk menumbuhkan kembali sisi kemanusian di negri ini yang perlahan berada di gerbang kematian.

Krisis kemanusiaan ini sangt perlu diatasi oleh ajaran Islam sebagai agama yang paling mengenal kemanusiaan. Jika tidak, maka perlahan kita akan lihat bahwa ada satu masa dimana tidak ada lagi gunanya pesan-pesan ukhuwah.

*Naser Muhammad

MENGAPA ALLAH JAUHKAN DARI MASJID?


Ini pertanyaan mendasar yang seharusnya kita tanyakan pada diri kita masing-masing, untuk menemukan jawabannya.

Apa gerangan yang terjadi, sehingga Allah menjauhkan kita dari masjid. Justru di saat-saat kita sedang membutuhkan masjid.

Ramadhan sebentar lagi tiba dan hampir seluruh aktifitas ramadhan kita habiskan setiap saat di masjid. Mulai dari buka puasa, shalat lail tilawah sampai i'tikaf semua sentralnya adalah masjid.

Ramadhan tanpa masjid, tentu akan berbeda kondisinya dengan ramadhan sebelumnya. kehawatiran akan kondisi ini pasti, apalagi bagi para pecinta masjid yang telah terpaut hatinya dengn rumah Allah. Pasti sangat merasakan hal yang sangat ganjil.

Masjid adalah rumah Allah, mengapa Allah enggan menerima kita lagi sebagai tamunya? Jika Allah masih berkenaan, lalu mengapa hari ini kita terbelenggu di rumah, sebagaimana syaitan dibelenggu di ramadhan? Tentu ada hal yang salah yang perlu kita cari, agar hal ini segera berakhir. 

Jika ini terjadi karena dosa maka mari kita memohon ampun pada Allah,

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat”

Jika ini adalah ujian maka bersabarlah,

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah ada suatu yang menimpa seorang muslim dari kelelahan, sakit, kesedihan, kegundahan, bahkan tusukan duri sekali pun, kecuali akan menjadi penghapus dosa baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

*Naser Muhammad

MENIKAH ITU KARENA TAKWA BUKAN YANG LAINNYA


Menikah itu berat, ia butuh kesiapan yang matang tuk melaluinya. Menikah amat berbeda dengan ibadah lain yang terikat dengan waktu, menikah itu ibadah yang membutuhkan masa yang panjang.

Pernikahan itu kebahagiaan yang dibalut oleh ujian-ujian. Segala bentuk kebahagiaan ada pada pernikahan, pun segala bentuk ujian ada dalam pernikahan.

Pernikahan amat berat, engkau takkan mampu melewatinya sendirian. Engkau selamanya takkan mampu mengimbangi gelombangnya, badainya, bahkan guncangan gempanya.

Menikah harus dengan podasi yang kuat, dan tak ada pondasi terkuat dalam urusan ibadah pernikahan kecuali takwa.

Menikah adalah implementasi takwa, menikah seharusnya disandarkan pada takwa bukan pada yang lainnya.

Janganlah menikah sekedar untuk mengubah status, atau sekedar untuk melampiaskan nafsu hewaniyah.

Menikalah karena takut berbuat maksiat, menikahlah untuk menjaga iman, menikahlah untuk mengekang nafsu maksiat. Menikah selamanya harus dengan takwa.

Menikah itu akad, sebuah narasi perjanjian yang engkau buat antara dirimu dengan Allah karenanya dia disebut mitsaqon ghaliza. 

Engkau bukan hanya berjanji pada orang tuanya untuk memberinya kasih sayang, dan penghidupan yang layak. Tapi lebih dari itu, engkau sesungguhnya berjanji kepada Allah untuk membawanya ke syurga.

Itu artinya engkau siap mengorbankan dirimu dibakar di Neraka jika tak sanggup membawanya sampai di sana. Engkau takkan bisa mengelak dihadapan Allah setelah engkau berikrar atas nama Allah dihadapan seorang wanita.
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An Nisa: 21.)

Menikah itu butuh kecerdasan memahami orang lain, ia membutuhkan hati yang benar-benar lapang dan luas untuk menerima kekurangan orang lain. Menikah itu berpindah dari diri sendiri, menuju kepada diri orang lain.

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

 “… Dan bergaullah dengan mereka secara patut…” [An-Ni-saa’/4: 19].

Memutuskan untuk menikahi, artinya memutuskan untuk menerima segala yang ada padanya secara utuh entah itu berupa kebaikan dan keburukan yang ada padanya. 

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرً

Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allâh menjadikan padanya kebaikan yang banyak. [An-Nisâ`/4:19].

Maka terimahlah keburukan yang ada pasanganmu, sebagaimana engkau menerima kebaikan-kebaikan yang ada padanya.

 وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.

“Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik kepada wanitanya.”

Menikah itu ibadah, puncak tertinggi dari ibadah menikah itu adalah amanah yang harus ditunaikan, amanah pernikahan tertinggi itu adalah,

قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

 “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka…” [At-Tahriim/66: 6]

Pernikahan yang tidak dibingkai dengan takwa tidak mungkin membawa ke syurga, pernikahan yang tidak didasari oleh takwa pasti berakhir di neraka.

Bahkan keromantisan pernikahan yang dibalut cinta dan kasih sayang haruslah dengan keyakinan takwa, agar keromantisan itu bukan sekedar rayuan rapuh, tapi ibadah yang menyenangkan.

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً، قَامَ مِنَ الَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً، قَامَتْ مِنَ الَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Semoga Allah merahmati seorang pria yang bangun malam untuk shalat, dan membangunkan isterinya untuk shalat. Jika istrinya menolak, maka ia memercikkan air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun malam untuk mengerjakan shalat dan membangunkan suaminya untuk shalat. Jika suaminya menolak, maka ia memercik-kan air ke wajahnya.”

Wanita adalah kesenian tingkat tinggi, wanita adalah ciptaan Allah yang sangat artistik. Memperlakukan wanita butuh jiwa yang sangat lembut untuk menemukan sarinya. Maka perlakukanlah mereka dengan penuh kehati-hatian.

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِيْ الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

“Perlakukanlah wanita dengan baik, karena wanita terbuat dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah sebelah atas, jika engkau luruskan maka akan membuatnya patah dan jika kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok, maka berlaku baiklah terhadap wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka menikah itu sesungguhnya adalah ibadah yang sangat luar biasa, kesabaran, lapang dada, dan hati yang lembut senantiasa dibutuhkan setiap saat dan semua itu takkan mungkin ada, jika pernikahan tak dibalut oleh ketakwaan.

Banyak yang menikah dengan mahar yang melimpah, pesta yang meriah bahkan konsep ala eropa, ditutup dengan bulan madu yang wah.

Tapi apa kabarnya? pernikahannya tidak lebih dari sebulan saja. persis seperti mengontrak rumah. Pernikahan dengan konsep yang digagas demikian rupa, pada akhirnya berujung dengan sia-sia. Karena takwa tak menjadi pondasi utamanya.

فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“ Utamakanlah oleh kalian perempuan yang baik agamanya, taribat yadak.” (HR. Muslim no. 3620)

Tapi ada penikahan yang konsepnya sangat biasa, bahkan jauh dari kata mewah. tapi memiliki ketahanan nafas panjang yang luar biasa, karna pondasinya hanya semata takwa.

Ini bukan cerita dusta, ini adalah fakta bahwa menikah dengan takwa walau sederhana, itu miniatur syurga. Dikisahkan dalam hadits Rasulullah.

هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?”

“Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya.

“Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” pinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”

Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk wanita ini.”

“Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti wanita ini tidak mendapat sarung itu. Dan jika dia memakainya berarti kamu tidak memakai sarung itu.”

Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut.

Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?”

“Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya.

“Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Iya,” jawabnya.

“Bila demikian, baiklah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 1425)

Teranglah bahwa takwa menjadi bagian penting yang diperintahkan, untuk membangun mahligai pernikahan. Tak ada satupun yang dihasilkan oleh ketakwaan kecuali kebaikan-kebaikan.

لا تزوج ابنتك إلا من تقي، إذا أحبها أكرمها وإن كرهها لم يظلمها

“Janganlah kamu menikahkan putrimu kecuali dengan laki-laki yang bertakwa. Karena jika dia mencintai istrinya maka akan memuliakannya dan jika tidak suka maka tidak akan mendzaliminya.”

Itulah mengapa wanita haram dinikahkan tanpa wali, sedangkan lelaki tidak. agar wali bisa memastikan bahwa, anak wanitanya benar-benar bersandar dibahu yang tepat.

Menikah itu berat, tapi tidak jika engkau menikah kerena takwa. Maka menikahlah karena takwa, tinggalkan hubungan yang haram maka niscaya Allah akan bangunkan bagimu hubungan yang lebih baik dan lebih abadi.

فاغضض ﺑﺼﺮﻙ ، فإن من ارتضى بحلاله رزق الكمال فيه

"Pejamkanlah matamu dari hal-hal yang haram. Ketahuilah, orang yang merasa cukup dengan suatu yang halal, maka dia akan diberi kenikmatan yang sempurna di dalam barang halal tersebut."

Percayalah firman Allah,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad 5: 363)

*Naser Muhammad

UJIAN ITU BUKAN TANDA KEHINAAN BERSABARLAH


Allah ta'ala berfirman didalam Al qur'an terkait kondisi sebagian manusia yang menganggap bahwa ujian itu tanda kebencian Allah padanya,


فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“ (Al-Fajr : 15-16).

Maka para salaf mengatakan,

"Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan; maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta". 

Betapa banyak orang sholih (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa’ur Rosyidin, terbunuhnya Al Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. 

Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. Dan masih banyak kisah lainnya.

Bahkan suatu kali Rasulullah pernah ditanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

“Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka dia akan mendapat ujian begitu kuat. Apabila agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan agamanya. Senantiasa seorang hamba akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

Ujian hanyalah sunnatullah yang dipergilirkan masanya.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ , الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ .  أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (segala sesuatu milik Allah dan kembali kepada Allah). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”  (QS. Al-Baqarah: 155-157).

Sabar itu berkah, berkah itu petunjuk dan petunjuk itu adalah keberuntungan. Maka bersabarlah. Karena janji Allah itu pasti.

Orang yang bersabar itu beriringan dengan Allah, tak ada jalan yang dia lalui kecuali Allah pasti bersamanya, dan bersama Allah itu senantiasa mengasyikkan.

Maka bersabarlah, dan kuatkanlah kesabaran itu.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS. Ali Imran: 200)

Bersabarlah, tapi tetaplah siaga. Jangan pernah sedikitpun lengah agar kesabaranmu tak sia-sia.

*Naser Muhammad

MENGHIANATI AMANAH KEPEMIMPINAN


KEPEMIMPINAN dalam islam adalah sesuatu yang berat, urusannya bukan semata pertanggungjawabannya di dunia. Tapi juga di akhirat. Mempertanggungjawabkannya adalah kata terpanjang dalam bahasa indonesia menunjukkan betapa beratnya proses bertanggung jawab itu.

وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا

"Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim no. 1825).

Tetapi, jika kita menyaksikan fenomena belakangan ini. Amanah pertanggung jawaban yang ada pada kepemimpinan nampaknya tidak banyak menghadirkan ketakutan kepada orang yang memiliki ambisi yang sangat besar untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Padahal Nabi telah bersabda dalam sebuah hadits,

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ

“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita” (HR. Bukhari no. 7148)

Hari ini sabda itu dapat kita saksikan sendiri betapa bahkan ada yang berani menggelontorkan dana yang tidak sedikit demi melancarkan keinginanya untuk medapatkan jabatan yang dimaksud. Walau lewat jalan yang hina sekalipun.Tidak jarang kita saksikan mereka menghalalkan berbagai macam cara, demi untuk mendapatkan jabatan itu.

Belum lagi untuk mendapatkan jabatan itu, harta merupakan satu-satunya modal yang dia miliki, sedikitpun tidak punya keterampilan memimpin yang mumpuni, dan juga disiplin ilmu terkait dengan amanah publik yang di embannya.

Efeknya kemudian alih-alih hadir untuk memimpin dengan amanah, mereka hanya hadir sebagai penipu dan penindas bagi rakyat yang dipimpinnya.

Segala bentuk kebijakan yang dia ambil selalu melukai hati rakyat, karena kebijakan yang dia hadirkan semata untuk kepuasan nafsunya saja.

Andai mereka tau betapa mengerikannya acaman bagi pemimpin penipu, niscaya ia akan bergidik membayangkannya.

Disebutkan dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu Anhu ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat kemudian ketika mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan baginya surga”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Pondasi kepemimpinan adalah sifat jujur dan amanah, dua hal ini yang harus ditunaikan sebagai amanah kepemimpinan yang tidak bisa ditawar-tawar. 

أَوَّلهَا مَلَامَة ؛ وَثَانِيهَا نَدَامَة ، وَثَالِثهَا عَذَاب يَوْمَ الْقِيَامَة ، إِلَّا مَنْ عَدَلَ

“Awal (dari ambisi terhadap kekuasaan) adalah rasa sakit, lalu kedua diikuti dengan penyesalan, setelah itu ketiga diikuti dengan siksa pada hari kiamat, kecuali bagi yang mampu berbuat adil.”

Disinilah pentingnya agama menjadi pendamping bagi amanah kekuasaan, dan
pentingnya kekuasaan sejak awal disadari oleh pemahaman agama yang sohih. Ulama mengatakan,

اَلدِّيْنُ وَ السُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ وَ قِيْلَ الدِّيْنُ أُسٌّ وَ السُّلْطَانُ حَارِسٌ فَمَا لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَ مَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ

Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Abdillah al-Qal’i, Tadrîb ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, 1/81).

Pemahaman akan agama yang baik, tentu akan menjadi pertimbangan. Untuk tidak melakukan bentuk-bentuk penghianatan, sebab menyadari bahwa ancaman atas kezaliman, dan penipuan terhadap amanah kepemimpinan, sangat luar biasa.

Ketidak jujuran dan penipuan atas amanah kepemimpinan adalah bentuk kemunafikan yang murni. Sebagaimana telah disebutkan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Empat sifat, barangsiapa yang empat itu ada padanya, maka ia adalah orang munafik murni. Dan barangsiapa yang ada padanya satu sifat, maka terdapat satu sifat dari nifak, sehingga ia meninggalkannya, yaitu: Apabila dipercaya, khianat, apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi, dan apabila bertengkar ia keji”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Karenanya, seorang pemimpin semestinya senantiasa bersikap jujur dalam mengemban amanah kepemimpinan, yang telah dipikulkan dipundaknya. Larangan hianat adalah perintah Allah Ta’ala, sebagaimana firmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS. al-Anfal: 27).

Karenanya Rasulullah mengatakan dalam sabdanya,

نِعْمَ الشَّيْء الْإِمَارَة لِمَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَحِلِّهَا ، وَبِئْسَ الشَّيْء الْإِمَارَة لِمَنْ أَخَذَهَا بِغَيْرِ حَقّهَا تَكُون عَلَيْهِ حَسْرَة يَوْم الْقِيَامَة

“Sebaik-baik perkara adalah kepemimpinan bagi yang menunaikannya dengan cara yang benar. Sejelek-jelek perkara adalah kepemimpinan bagi yang tidak menunaikannya dengan baik dan kelak ia akan merugi pada hari kiamat.”

Olehnya, sesiapa saja yang tidak sudi untuk dibangkitkan oleh Allah dalam kondisi berada di bawah panji kemunafikan, maka hendaklah dia senantiasa menjaga amanah kepemimpinan yang dipikulnya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لَهُ بِقَدْرِ غَدْرِهِ أَلاَ وَلاَ غَادِرَ أَعْظَمُ غَدْرًا مِنْ أَمِيرِ عَامَّةٍ

“Setiap pengkhianat itu ada benderanya pada hari kiamat, di mana bendera itu ditinggikan sesuai dengan kadar khianatnya. Ketahuilah, tidak ada pengkhianat yang lebih besar melebihi khianatnya pemimpin umum”. (HR. Muslim). Wallahu A’lam.

*Naser Muhammad

TAHAN LISAN DARI KALIMAT YANG ALLAH BENCI


Hal yang perlu menjadi perhatian bahwa. Penyampaian kebenaran tidak selamanya indah, nasihat bahkan seringkali tidak menyenangkan. Pesan kebaikan yang diserukan kadangkala membuat kita kurang nyaman.

Namun seberapapun kebencian terhadap nasihat itu, jika dia merupakan nasihat kebaikan atau takwa. Maka tahanlah lisan dari ucapan yang bisa mengundang kebencian Allah, 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إن أبغض الكلام إلى الله أن يقول الرجل للرجل: اتق الله، فيقول: عليك بنفسك

"Kalimat yang paling Allah benci, seseorang menasehati temannya, ’Bertaqwalah kepada Allah’, tapi ia menjawab: ’Urus saja dirimu sendiri.” (HR. Baihaqi & Nasa'i).

Golongan mereka inilah, yang Allah sebutkan dalam firmanNya,

وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ 

Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”. (Al Baqarah ayat 206)

Di antara definisi sombong yang Rasulullah kabarkan dalam haditsnya adalah menolak kebenaran, dan menganggap remeh orang lain. Bahkan, kesombongan itu tidak ada sedikitpun ruang yang tersisa untuknya di surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ 

Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi. Seorang laki-laki bertanya: “Ada seseorang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?) Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. [HR. Muslim, no. 2749, dari `Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu]

Bisa jadi nasehat yang disampaikan memang caranya kurang tepat. Tetapi menahan diri dari bersikap sombong terhadap nasehat jauh lebih utama, dibanding menolaknya dengan kata-kata yang sangat Allah benci. Karena hal itu justru berdampak pada teseretnya diri, pada keburukan yang jauh lebih besar.

Karenanya menahan lisan dari kata-kata yang tiada kebaikannya adalah perintah yang harus menjadi perhatian, bahwa diam adalah cermin iman kepada hari akhir.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”

Menahan diri untuk tidak menolak kebenaran dengan ucapan lisan yang buruk, itu lebih baik. dan Menghindarkan diri dari kesia-siaan ucapan itu lebih diutamakan. Karenanya hal ini berbuah surga di hari pembalasan kelak.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”

Olehnya, Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Tidak menjalankan perintah Allah itu dosa, dan menolak kebenaran itu juga dosa. Sesorang yang belum mampu secara sempurna melaksanakan keseluruhan perintah Allah, maka hendaklah dia menjaga lisannya dari perkataan yang dibenci oleh Allah. Karna setiap ungkapan yang dilontarkan lisan, ada timbangannya kelak di hari pembalasan.

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوولًا

‘Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’ (QS. Al-Isra’:36)

Dan semua itu tercatat dengan baik disisi Allah oleh para malaikat,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

‘Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)

Senantiasa menahan lisan, untuk tidak melontarkan penolakan pada seruan kebenaran walau raga masih tertatih untuk menyempurnakan kewajiban.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Jika kalian diperintahkan pada sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah).

*Naser Muhammad

Tuesday, April 7, 2020

HIMBAUAN UNTUK TIDAK KE MASJID SALAHKAH?

Perlu di pahami bahwa yang dilarang itu bukan solatnya, tapi saling membahayakannya,

Nabi ﷺ bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh melakukan mudorot pada diri sendiri dan juga memudorotkan orang lain.” (HR Ibnu Majah)

Kalo solat boleh dirumah karena hujan deras, dan mengakibatkan jalan berlumpur hingga tak bisa dilewati, maka ruksoh berlaku baginya. Apalagi karena corona yang tak terlihat itu, yang lebih bahaya dari hujan, becek, dan tak ada ojek. Lihatlah Kitab Muslim-1128 Kitab Bukhori -850 Kitab Abu daud -900.

Sudahilah pertengkaran itu, toh tak ada yang kita inginkan selain daripada kebaikan. Tak perlu perang argumen, apalagi tak juga punya landasan kuat, hanya membingungkan ummat.

Perbedaan itu sudah lama kita sepakati bahwa kita bersepakat, untuk tidak sepakat. Tapi kita tidak pernah bersepakat untuk membingungkan ummat, mari edukasi ummat bahwa agama itu dalil bukan sekedar semangat.

Corona bukan masalah pribadi, maka jangan mengambil fatwa untuk pribadi perhatikanlah kemaslahatan ummat bukankah semua itu dibangun dari kaidah yang indah bahwa
"Al-Masyyaqqah tajlibut taisîr" (Kesulitan menghasilkan Kemudahan), "Lâ dharara walâ dhirâr" (Larangan membahayakan diri dan orang lain), "Dar-ul mafâsid muqoddam 'alâ jalbil mashâlih" (Mencegah kerusakan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan), "Taqdîmul mashlahah al-'âmmah 'alal mashlahah al-khâsshah" (Mendahulukan kemaslahatan umum di atas kemaslahatan pribadi), "Yutahammalu adh-dharar al-khâsh lidaf'i adh-dharar al-'âm" (Menanggung bahaya yang bersifat khusus demi mencegah bahaya yang bersifat umum).

Kesemua kaidah itu cukuplah memberikan jalan keluar yang amat terang, untuk kita sigap mengambil sikap.

Tak datang kemasjid karena khwatir ditulari, atau menulari itu bukan agama baru. yang agama baru itu tak pernah datang ke masjid tapi marah-marah saat masjid di tutup.

Rasulullah manusia paling bertakwa di muka bumi saja, memerintahkan berlari dari wabah dan orang yang terkena wabah,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

"Larilah dari orang yang kusta (sakit menular) sebagaimana engkau lari dari singa” (HR Ahmad no 9722 dan dishahihkan oleh al-Arnauth dan Al-Albani di As-Shahihah no 783).

Corona itu mahluk tak terlihat, kita tak pernah tau siapa menulari siapa. Wabah tak pilih-pilih, ke tubuh siapa dia harus mencari inang.

Wabah bukan kali ini saja terjadi, dan telah membunuh pendosa juga mewafatkan orang soleh sekelas sahabat mulia Muadz bin Jabal.

Jadi yah cobalah berfikir sejenak, Islam itu agama sempurna, namun terkadang pemeluknya yang membuatnya cacat karena tak paham istinbat hukum tapi berani berbicara diluar kapasitasnya.

Satu hadits dari Abu Huroiroh di dalam Shohih Bukhori dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika beliau pernah ditanya: kapan hari kiamat? Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

«إِذَا وُسِدَ الأَمْرُ إلى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»

“Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”.

Ulama dalam memahami hadits dan ayat hukum itu tidak mudah hingga menghasilkan satu keputusan hukum.

Sebab memutuskan status hukum itu berat, tidak dipungkiri kesalahan fatal bisa terjadi jika tak matang. Bukankah hal ini pernah terjadi di masa Nabi, 

Diceritakan dari Sahabat Jabir, “Kami pernah bepergian, kemudian salah seorang dari kami terkena batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian ia bermimpi basah dan bertanya kepada sahabatnya, “apakah padaku ada keringanan untuk bertayamum?”. Maka sahabatnya mengatakan, “kami tidak menemukan keringanan untukmu sedang kamu mampu menggunakan air”, sehingga ia pun mandi, kemudian mati. Maka ketika kembali dan menemui Rasullah kami pun menceritakan hal tersebut, dan beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya dan semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat tidak tahu adalah bertanya. Padahal cukup baginya hanya dengan bertayamum dan menutup lukanya dengan kain kemudian mengusapnya.” (HR. Abu Daud)

Rasulullah saja menyerahkan urusan pada ahlinya,

Dari Thalhah Bin ‘Ubaidillah ra, ia berkata “Aku bersama Rasulullah berjalan melewati beberapa kebun kurma, Kemudian Rasulullah bertanya “Apa yang mereka lakukan ?”

Orang-orang sekitarpun menjawab “Mereka menyerbukkan dengan menjadikan benih pejantan masuk kedalam benih betinanya, hingga jadilah penyerbukan”.

Rasulullah bersabda “Aku menduga, Andai mereka meninggalkannya, mungkin lebih baik”,

Lalu mereka membiarkannya, dan hasil kurmanya berkurang.

Mereka bertanya kepada Nabi, dan Rasulullahpun bersabda “Apabila penyerbukan tersebut memang bermanfaat bagi mereka, maka lakukanlah sesungguhnya aku hanya menduga saja, janganlah kalian mengambil dugaan yang ku buat, Namun apabila aku mengabarkan pada kalian sesuatu yang datangnya dari Allah, maka ambillah, sesungguhnya aku tidak akan pernah berbohong atas apa yang datang dari Allah dalam riwayat lain Rasulullah bersabda

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kamu Lebih Tahu Mengenai Urusan Duniamu.” (HR. Muslim)

Himbauan tidak datang kemasjid itu bukan fatwa hawa nafsu, bukan juga larangan untuk menjauhi masjid dalam makna meninggalkan solat jamaah. Tapi upaya untuk menjaga, agar tak saling memberi bahaya.

Toh jika tetap dirumah dengan niat untuk menjauhkan diri dan orang lain dari bahaya, InsyaAllah tetap mendapatkan pahala berjamaah sebagaimana Rasullah pernah bersabda,

وعن أبي عبدِ اللهِ جابر بن عبدِ اللهِ الأنصاريِّ رَضي اللهُ عنهما ، قَالَ : كُنَّا مَعَ النَّبيِّ في غَزَاةٍ ، فَقالَ: إِنَّ بالمدِينَةِ لَرِجَالاً ما سِرْتُمْ مَسِيراً ، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِياً ، إلاَّ كَانُوا مَعَكمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ . وَفي روَايَة : إلاَّ شَرَكُوكُمْ في الأجْرِ رواهُ مسلمٌ
ورواهُ البخاريُّ عن أنسٍ، قَالَ : رَجَعْنَا مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ مَعَ النَّبيِّ، فقال : إنَّ أقْواماً خَلْفَنَا بالْمَدِينَةِ مَا سَلَكْنَا شِعْبا وَلاَ وَادياً ، إلاّ وَهُمْ مَعَنَا ؛ حَبَسَهُمُ العُذْرُ

Dari Abu Abdullah Jabir Ibnu Abdullah Al Anshari radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Sesunguhnya di Madinah terdapat orang-orang yang kamu tidak menempuh sebuah perjalanan dan tidak melintasi sebuah lembah, melainkan mereka bersama-sama kamu. Mereka dihalangi oleh udzur sakit.” Dan dalam sebuah riwayat: “Melainkan mereka bersekutu denganmu dalam pahala.” (HR Muslim)

Jika tak faham agama tinggikanlah dengan menuntut ilmu, jangan jatuhkan dengan kejahilan. Jika tak mau juga menuntut ilmu, maka tahanlah lisan untuk tak bicara pada ranah yang tak dikuasai.

Bukankah Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau (jika tidak bisa) hendaknya ia diam." (Muttafaq 'Alaih)

Diam itu bukti keimanan, jika yakin bicara justru membuat masalah kian besar. Urusan lisan sangat besar, dan fitnahnya juga sangat banyak.

Bahayanya lisan tak terduga dan sangat mudah lisan tergelincir karena gerakan lisan tidak memerlukan tenaga yang besar dan dilakukan sangat mudah. karenaya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ (أَوْ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ) إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

"Apakah (ada) yang menyebabkan seseorang terjerembab di neraka di atas wajah (atau hidung mereka) kecuali disebabkan oleh tindakan lisan mereka'?" (HR. Al-Tirmidzi, beliau berkata: hadits hasan shahih)

Yuk jadi muslim cerdas agar kebaikan tetap bisa dijalankan tanpa harus merepotkan orang lain. Karenanya paham agama itu berkah paling indah dan kebaikan paling tinggi,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Naser Muhammad

CORONA DAN RAMADHAN

Ramadhan sebentar lagi akan tiba, namun dunia masih sibuk dengan isu corona, beberapa masjid bahkan sudah di tutup sementara, bukan hanya untuk solat jamaah, solat jum'at pun sudah tiada.

Khawatir itu kepastian, bukan tentang persediaan pangan hingga lebaran, ini tentang kekhusyuan menjelang Ramadhan.

Corona itu mahluk Allah, di tulis di lauhil mahfuz sana, tentang berapa banyak tubuh yang terkena, pun tentang siapa yang kan merenggang nyawa.

Berharap kiranya Allah memulangkan corona kembali ke sisi-Nya, agar Ramadhan tahun ini dibersamai dengan indah.

Tarawih seperti biasa, berbuka bersama keluarga, masjid tak sepi dari suara tilawah, tanpa dihantui oleh corona.

Banyak yang tak pernah solat jamaah, tetiba marah-marah, karena pengajian sudah tak ada, masjid pun ditutup pintunya. Padahal selama ini masjid di buka, tak pernah sekalipun berada di sana.

Jabat tangan sudah tiada, entah dengan cara apa lagi menjabat dengan hangat sesama saudara. Bahkan, cadar yang dulu di cela bagai ninja tanpa katana, akhirnya malu-malu dipuji dan dipuja.

Ramadhan sebentar lagi menyapa, tapi kehawatiran masih membuncah, akan kah mahluk kecil corona, tak membayang hingga bulan mulia.

Akankah kelezatan tarwih masih dapat dirasa, ataukah ia tinggal cerita. Akan kah tilawah masih bertalu ditelinga, lewat pengeras suara. Atau lamat-lamat hilang dari rumah Allah.

Entah apa yang kan terjadi di Ramadhan ini, semua masih teka-teki. Hanya Allah yang tau pasti, mengapa semua ini harus terjadi.

Yang pasti, mari jaga diri, dari segala yang Allah benci. Semoga Allah berkenan mengijabahi, semua doa yang dipinta walau dalam hati, agar Ramadhan tahun ini sukses dibersamai.

Ramadhan tahun ini istimewa, Allah hadirkan corona sebagai ujian bagi hambaNya, akan kah bersungguh dengan datangnya bulan Ramadhan yang mulia.

Tetaplah berdoa, agar senantiasa sehat jiwa dan raga. Semoga Allah menghindarkan kita semua dari mara bahaya, disampaikan oleh Allah, dengan Ramadhan yang mulia, meraih pahala tiada batas didunia, sebagai bekalan di akhirat sana.

Berusaha sedemikian rupa agar terhindar dari corona, adalah upaya maksimal yang terus harus dijaga. Selebihnya bertawakallah pada Allah, semua yang terjadi tak pernah lepas dari izin-Nya.

*Naser Muhammad

DOA AGAR TERHINDAR DARI WABAH DAN KESUSAHAN


Doa dan zikir adalah senjata bagi seorang muslim betapa dahsyatnya kekuatan doa dan zikir. Banyak kesulitan dapat terangkat, penyakit yang dapat disembuhkan, kesuksesan yang bisa diraih, dan berbagai persoalan kehidupan dapat diselesaikan dengan doa dan zikir atas pertolongan Allah Ta’ala. 

Sesuatu yang sepertinya mustahil terjadi bisa menjadi kenyataan indah karena kekuatan sebuah doa dan zikir yang diucapkan dengan ikhlas kepada Allah Ta’ala, dengan kesabaran yang disertai  keimanan yang mantap hanya fokus pada pertolongan Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ الدُّعاءَ يَـنْـفَعُ مِمَّا نَـزَلَ ومِمَّا لمْ يَنْزِلْ، فَـعَـلَـيكُم عِبادَ اللهِ بالدُّعاءِ». [رواه الترمذي وغيره]

“Sesungguhnya do’a bermanfaat terhadap apa yang sudah ditetapkan dan apa yang belum ditetapkan (takdir). Maka hendaklah kalian berdo’a wahai para hamba Allah.” (HR. Tirmidzi)

Begitupun kesusahan seperti wabah corona yang sedang menimpa dunia hari ini, mohon pertolongan pada Allah adalah jalan terbaik.

Adapun beberapa doa dan zikir yang bisa di baca dan dirutinkan sebagai berikut,

 *Pertama* :

Membaca Do’a Dzun Nuun atau dikenal dengan doa Nabi Yunus

لاإله إلا أنت سُبحانكَ إنِّي كُنتُ من الظالمين

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Al Anbiya ayat 87-88 :

وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (87) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ} [الأنبياء:88]

Artinya : Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ”Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” Maka Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.

Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a ini ketika tertimpa musibah sembari perbanyak taubat kepada Allah, niscaya Allah akan mengijabah do’anya. 

Sebagaimana kisah Nabi Yunus yang ditelan ikan paus, lalu berdoa :

 لاإله إلا أنت سُبحانكَ إنِّي كُنتُ من الظالمين

“Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.”

لَم يَـدْعُ بها رجلٌ في شيءٍ قطُّ إلا استجابَ اللهُ له». أخرجه الإمام أحمد والترمذي 

“Sesungguhnya tidaklah seorang muslim berdoa dengannya dalam suatu masalah melainkan Allah kabulkan baginya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

*Kedua* : 

Membaca Do’a Setiap keluar Rumah

بِسْمِ اللَّهِ، تَـوكَّلْتُ على اللَّهِ، لا حوْلَ ولا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ

Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

«إِذا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَـيْـتِـهِ فقالَ: «بِسْمِ اللَّهِ، تَـوكَّلْتُ على اللَّهِ، لا حوْلَ ولا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ» -قـال:- يُـقـالُ حِـيـنَــئِـذٍ: هُدِيتَ، وَكُـفِيتَ، وَوُقِيتَ، فتَـتَـنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِـينُ، فَـيقُولُ لَهُ شيـطانٌ آخَـرُ: كيفَ لك بِرَجُلٍ قَـدْ هُـدِيَ وكُـفِـيَ ووُقِـيَ؟». [رواه أبو داود].

Artinya: “Apabila seseorang keluar dari rumahnya, lalu dia berkata : “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laa hawla wa laa quwwata illa billah”, maka Allah berkata : “Engkau akan diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga.” Maka setan pun akan menyingkir darinya. Setan yang lain berkata : “Bagaimana mungkin engkau bisa mengganggu seseorang yang telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan penjagaan?” (HR. Abu Dawud)

*Ketiga* :
Membaca Zikir pagi dan petang hari

بِسْمِ اللَّهِ الذي لا يَـضُرُّ مع اسْمِهِ شَيءٌ في الأرضِ ولا في السَّماءِ وهُوَ السَّميعُ العَليمُ

Artinya : “Dengan nama Allah yang tidak akan berbahaya dengan nama-Nya segala sesuatu di langit dan bumi, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Barangsiapa yang membaca zikir ini sebanyak 3 kali di pagi hari, maka tidak akan ada marabahaya yang akan memudaratkannya hingga sore hari. Dan barangsiapa yang membaca zikir ini sebanyak 3 kali di sore hari, maka tidak akan ada marabahaya yang akan memudaratkannya hingga pagi hari.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak pernah meninggalkan do’a ini di pagi hari dan petang hari :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ العافِيَـةَ فـي الدُّنيا والآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ العَفْوَ والعافِيَـةَ فـي دِيني ودُنْـيايَ وأَهْلِي ومالِي، اللَّهُمَّ اسْتُـرْ عَوْراتِي، وآمِنْ رَوْعاتِي، اللَّهُمَّ احْفَظْنِـي مِنْ بَـيْنِ يَدَيَّ، ومِنْ خَلْفِي، وعَنْ يَمِيـنِـي، وعَنْ شِمالِي، ومِنْ فَوْقِي، وأَعُوذُ بِعَظَمَـتِكَ أَنْ أُغْتالَ مِنْ تَحْتِـي». [رواه أحمد وغيره].

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu keselamatan dalama agama, dunia,keluarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari muka, belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak terjatuh. (HR. Ahmad)

*Keempat* : 

Membaca Doa Berlindung kepada Allah dari beratnya bala’ musibah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ جَهْدِ الـبَـلاءِ، ودَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ القَضَاءِ، وشَماتَـةِ الأعداءِ .رواهما البخاري 

Artinya : “Berlindunglah kamu kepada Allah dari bala’ (musibah) yang berat, dari sebab-sebab kebinasaan, dari takdir-takdir yang buruk dan rasa bahagianya musuh.” (HR. Bukhari)

Nabi juga mengajarkan sebuah doa dalam haditsnya,

وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقُوْلُ : (( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ ، وَالجُنُونِ ، والجُذَامِ ، وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ )) . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “ALLOOHUMMA INNII ‘AUUDZU BIKA MINAL BAROSHI WAL JUNUUNI WAL JUDZAAMI WA SAYYI-IL ASQOOM (artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kulit, gila, lepra, dan dari penyakit yang jelek lainnya).” (HR. Abu Daud, no. 1554; Ahmad, 3: 192. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin juga menyatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Intinya mintalah kepada Allah selalu, apapun masalah yang kita hadapi ingatlah hanya Allah tempat meminta dan memohon,

لِيَسْئَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ أَوْ حَوَائِجَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَهُ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ وَحَتَّى يَسْأَلَهُ الْمِلْحَ

“Hendaklah salah seorang diantara kamu sekalian meminta kepada Tuhannya akan segala kebutuhannya hingga meminta tali sandalnya yang putus atau sampai meminta garam sekalipun.” (HR. At-Tirmidzi no. 3604, dalam Silsilah adh–Dha’ifah [1362] al-Albani mengatakan: “hadits ini dhaif”)

Bahkan dalam sebuah hadits dikatakan, dari sahabat Salman al-Farisi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا »

“Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Ta’ala adalah maha pemalu lagi maha mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa“. (HR Abu Dawud (no. 1488), at-Tirmidzi (no. 3556), Ibnu Majah (no. 3865) dan Ibnu Hibban (no. 876)

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ

“Kebenaran itu datang dari Rabb mu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu.” (Q.S Al-Baqarah : 147)

Wallahu A'lam

Alfaqir ila robbirrohim Naser Muhammad

JIKA ALLAH TELAH CINTA


Cinta selalu indah, ia tak lekang oleh masa. Perihal tentangnya selalu menyejarah.

Gemuruh di dada, membuncah rindu, dan nestapa. Betapa ia menyiksa, jika tak berbalas dengan rasa yang sama.

Tapi Allah berbeda, jika ia cinta takkan memberi harta juga tahta walau Dia punya. Tengoklah fir'aun dengan seluruh kemewahan istana, ia justru mati dilamun samudra dengan selautan murka.

Beribu ungkapan cinta Allah larungkan di hadapan fir'aun, namun tak satupun yang berbalas. Berkali-kali ungkapan cinta itu dikirimkan, ia tetap membatu.

Saat Allah kirimkan kemurkaan barulah ia tersadar dalam keterlambatannya, barulah ia berusaha membalas Cinta-Nya saat pena takdirnya telah mengering sebagai penghuni Neraka.

Mengiba dia dalam lautan, tapi itu semua sudah usai, bergidik dia dalam ketakutan sembari berkata,

قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS:Yunus | Ayat: 90).

Lalu perhatikanlah Qorun perihal harta, ia di timbun bersama dengan harta, lenyap tak bersisa. Mati dalam kecongkakan sembari membusungkan dada ia berkata,

قَالَِْنَّمَا أُوتِيتُوُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي

“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS Al-Qashash, 78)

Itulah awal ceritanya, saat cinta berubah menjadi murka, saat berkali kali di sapa dengan cinta, tapi kecongkakan balasannya.

فَخَسَفْنَا بِوِ وَبِدَارِهِ الَْْرْضَ فَمَا كَافَ لَوُ مِنْ فِئَةٍ يَػنْصُرُونَوُ مِنْ دُوفِ اللَّوِ وَمَا كَافَ مِنَ الْمُ نْتَصِرِينَ

“Maka Kami benamkanlah Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS Al-Qashash, 81)

Cinta Allah selalu berbeda, cinta-Nya dibalut dengan ujian-ujian. 

إذا أحَبَّ اللهُ قومًا ابْتلاهُمْ

“Jika Allah mencintai suatu kaum maka mereka akan diuji” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3/302. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 285).

Tengoklah kisah Ayyub ‘Alaihissalam yang menderita sakit kulit yang sangat berat selama 7 atau 8 tahun, sehingga seluruh harta kekayaannya habis, seluruh putra tercintanya meninggal semua, dan seluruh istrinya pergi meninggalakannya, hingga istri yang paling setia pun menyerah. Kemudian Nabi Ayyub hidup terasing sendirian.

Dengarkanlah kisah terkenal Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang teguh mempertahankan tauhidnya dalam siksaan tindihan batu besar yang panas di padang pasir nan terik. 

Bacalah kisah sahabat wanita Al-Khansa yang keempat putranya syahid di medan perang dalam satu hari, tapi dia justru mengucapkan “alhamdulillah”.

Tapi hanya dengan imanlah cinta Allah itu akan sepenuhnya terasa.

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

Adapun orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allâh. [Al-Baqarah/2: 165]

Cinta-Nya sungguh sangat tak sederhana, cinta yang tiada bandingnya walau cinta ibu dengan anaknya sekalipun. Dari Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu , beliau menuturkan:

ﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﻲ، ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﻗﺪ ﺗﺤﻠﺐ ﺛﺪﻳﻬﺎ ﺗﺴﻘﻲ، ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺕ ﺻﺒﻴﺎً ﻓﻲ
ﺍﻟﺴﺒﻲ ﺃﺧﺬﺗﻪ، ﻓﺄﻟﺼﻘﺘﻪ ﺑﺒﻄﻨﻬﺎ ﻭﺃﺭﺿﻌﺘﻪ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻨﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : (ﺃﺗﺮﻭﻥ ﻫﺬﻩ ﻃﺎﺭﺣﺔ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ). ﻗﻠﻨﺎ: ﻻ، ﻭﻫﻲ ﺗﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻄﺮﺣﻪ، ﻓﻘﺎﻝ: (ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya.

Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami,
“Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?”

Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sungguh tak ada cinta di atas cintaNya, jika ia sudah memproklamirkan cintaNya Semua nafas terhenti untuk mencintai apa yang dicintaNya.

“عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ، فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنَادِي جِبْرِيلُ فِي السَّمَاءِ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ، وَيُوضَعُ لَهُ القَبُولُ فِي أَهْلِ الأَرْضِ “

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allâh Tabaraka wa Ta’ala mencintai seorang hamba, Allâh menyeru kepada Jibril, “Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia!” Maka Jibril mencintainya. Kemudian Jibril menyeru di langit, “Sesungguhnya Allâh mencintai Fulan, maka cintailah dia (wahai para malaikat)!” Maka penduduk langit mencintainya. Dan Allâh menjadikan dia diterima di bumi (yakni dicintai penduduk bumi) [HR. Al-Bukhâri, no. 7485; Muslim, no. 2637; dan ini lafazh al-Bukhâri]

Semua cinta rapuh tanpa pembuktian, bukti cinta padanyaNya adalah kesabaran menempuh ujian. Karna hanya cinta-Nyalah yang menyenangkan sekaligus menenangkan.

Naser Muhammad

MENJAGA RITME, MENAPAKI JALAN JUANG


Perjalanan dakwah senantiasa ramai dari ujian, nampaknya itulah mahar yg harus dibayar demi cita-cita mulia.

Perkataan menyakitkan, hingga perlakuan yang menyesakkan dada. Nyaris tak pernah sepi mengunjungi setiap saat.

Onak dan duri tak pernah sepi membayangi, tertatih melangkah walau berat di dada.

Sejak dari zaman Nabi Adam hingga hari ini, perlakuan itu masih saja sama.

 كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ أَتَوَاصَوْا بِهِ ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ

 “Demikianlah tidak seorang Rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: ‘Ia adalah tukang sihir atau orang gila.’ Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (Adz-Dzariyat: 52-53) 

Siapa saja yang mengatakan “Kami beriman”, maka Allah pasti mengujinya. Jalan terjal ini pernah dilalui oleh semua penyeru kebenaran, Untuk menguji kualitas keimanan.

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (ujian) seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah (datangnya) pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (Al-Baqarah: 214) 

Menyadari bahwa jalan liku perjuangan sangat berat, menjaga ritme adalah upaya maksimal agar tidak berguguran di jalan perjuangan.

Yakinlah, semua akan berbalas. Jika menanam kebaikan tapi hasilnya belum jua dirasakan beberapa saat setelah itu, maka yakinlah satu waktu ia akan muncul dalam bentuk kebaikan yang mungkin tidak sangka-sangka keindahan dan kenikmatannya.

Sebaliknya, jangan pernah merasa nyaman jika berbuat culas atau jahat hanya karena balasannya belum terasa saat itu. 

Yakinlah, satu waktu ia akan hadir dalam bentuk keburukan. Dan boleh jadi ia lebih menyakitkan dari yang selama ini diduga.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

"Barangsiapa berbuat kebaikan sebesar zaroh pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan sebasar zaroh pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula."

Karena energi kebaikan, akan senantiasa melahirkan kebaikan dalam kondisi apapun. 

هَلْ جَزَآءُ الْإِحْسٰنِ إِلَّا الْإِحْسٰنُ

“Apakah ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman 55: Ayat 60)

قَرَاَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ اِلا الإحْسَانُ قَالَ: “هَلْ تَدْرُونَ مَا قَالَ رَبُّكُمْ ” قَالُوا: اللّٰهُ وَرَسُولُهُ اَعْلَمُ. قَالَ: “يَقُولُ هَلْ جَزَاءُ مَا اَنْعَمْتُ عَلَيْهِ بِالتَّوْحِيدِ اِلَّا الْجَنَّةُ”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. membaca firman-Nya: Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). (Ar-Rahman:
60).

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian, apakah yang dikatakan oleh Tuhan kalian?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul­Nya lebih mengetahui.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman, “Tiadalah balasan bagi orang yang telah Kuberikan nikmat tauhid kepadanya selain dari surga.” Itulah maksud dari firmannya,

لِلَّذِينَ اَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

Bagi orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. (Yunus: 26)

Ujian demi ujian baik berupa hinaan, gangguan keamanan dan cemohan dalam mengemban risalah perjuangan adalah imunitas yang dibutuhkan dalam dakwah. 

Allah tidak akan membiarkan kita untuk mengatakan sesuatu yang tidak benar-benar valid. Perkataan itu harus diuji sejauh mana kebenarannya, walau Allah sesungguhnya sudah tau. Siapa diantara manusia yang berdusta, dan siapa yang jujur.

الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ أَن يَسْبِقُونَا ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ مَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآتٍ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَحْسَنَ الَّذِي كَانُوا يَعْمَلُونَ وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُدْخِلَنَّهُمْ فِي الصَّالِحِينَ وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ وَلَئِن جَاءَ نَصْرٌ مِّن رَّبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ ۚ أَوَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِمَا فِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ وَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْمُنَافِقِينَ 

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa ia dibiarkan saja mengatakan ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Dia mengetahui pula orang-orang yang berdusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput (dari azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang saleh. Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguhnya kami adalah besertamu”. Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?. Dan sungguh Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang munafik.” (Al-‘Ankabut: 1-11)

Bagi kalian para pejuang sedang lelah dalam jalan dakwah perhatikanlah nasihat agung ini, nasihat yang dituturkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah dimana dia berkata,

يا مخنث العزم أين انت والطر ؟

Wahai orang yang lemah motivasi, di mana engkau dan jalan ini?
طريف تعب فيه ادم

Jalan yang Adam mengalami kelelahan di dalamnya,
وناح فيه نوح

Jalan yang Nuh mengeluh menangis karenanya,

ورمى فى النار الخليل

Jalan yang Ibrahim dilemparkan di dalam api karenanya,
وأضجع للذبح اسماعيل

Jalan yang Ismail dibaringkan untuk disemblih karenanya,

وبيع يوسف بثمن بخمس ولبث فى السجن بضع سنين

Jalan yang Yusuf dijual dengan harga murah, dan dipenjara selama beberapa tahun karenanya,
ونشر بالمنشار زكريا

Jalan yang membuat zakaria digergaji karenanya,
وذبح السيد الحصور يحيى

Jalan yang Yahya disemblih karenanya,

وقاسى الضر أيوب

Jalan yang Ayyub menderita sakit berkepanjangan,
وزاد على المقدار بكاء داود

Jalan yang membuat Daud menangis melebihi kadarnya,
وسار مع الوحش عيس

Jalan yang membuat Isa berjalan dalam kesendirian karenanya,

وعالج الفقر وانواع الاذى محمد صلى الله عليه وسلم

Jalan yang membuat Nabi Muhammad ditimpa kefakiran dan gangguan karenanya.

تزهى انت باللهو وتلعب ؟

Sedangkan engkau ingin menempuhnya dengan santai dan main-main? (Al-fawaid hal. 56)

Teruslah melaju, majulah selangkah demi selangkah karena kita telah memilih jalan ini, hasbunallaah wani'mal wakiiil..

Naser Muhammad

MEMBENTURKAN IKHTIAR DAN TAWAKKAL


Akhir-akhir ini kita banyak sekali disuguhkan dengan tulisan tulisan yang nampaknya sangat baik tapi tidk benar-benar baik ketika kita menelaahnya secara teliti dengan pemahaman tauhid yang mendalam. Beberapa di antaranya,

"Virus Corona itu tentara Allah. Dengan ke masjid dia akan hilang, jangan mau dilarang ke masjid."

"Mati itu urusan Allah. Buat apa kita sholat di rumah karena corona."

"Mengapa lebih takut virus Corona. Harusnya lebih takut kepada Allah."

"Kalau sudah takdir Allah kita mati, ya mati. Tak perlu menghindari corona."

Sepintas kita akan merasa wow, dengan perkataan seperti ini, imannya mungkin sangat kuat, dan tawakkalnya mungkin sangat tinggi. Hingga terlontarlah perkataan-perkataan seperti itu.

Padahal jika kita benar-benar belajar tentang tauhid, tentang apa itu tawakkal, maka kita akan menemui bahwa tawakkal itu bersandar pada dua hal. Yang pertama menempuh dan melakukan sebab/usaha, dan yang kedua berdoa memohon bantuan kepada Allah serta menyerahkan hasilnya kepada Allah juga ridha dengan apapun yang Allah takdirkan setelahnya.

Artinya bahwa, iktiar tak pernah bisa dibenturkan dengan tawakkal selamanya. Iktiar dan tawakkal harus senantiasa seiring dan sejalan.

Inilah yang seringkali salah dipahami oleh sebagian orang, yaitu memahami bahwa tawakal itu sekedar “pasrah”. Tanpa harus melakukan sebab atau usaha dengan apapun.

Perhatikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai “tawakalnya burung”.

ﻟَﻮْ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻮَﻛَّﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺣَﻖَّ ﺗَﻮَﻛُّﻠِﻪِ ﻟَﺮُﺯِﻗْﺘُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻳُﺮْﺯَﻕُ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮُ ﺗَﻐْﺪُﻭ ﺧِﻤَﺎﺻًﺎ ﻭَﺗَﺮُﻭﺡُ ﺑِﻄَﺎﻧًﺎ

“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR.Tirmidzi, hasan shahih)

Apakah burung tersebut mendapatkan makanan karena dia hanya berada di dalam sarangnya, ataukah karena dia berusa dengan mengunakan segala potesi yang dimilikinya untuk terbang mencari rezki yang terserak.

Perhatikanlah bagaimana tawakkal yang dicontohkan burung itu dia pergi dalam keadaan lapar bukan diam dan berdoa dalam keadaan lapar tanpa terbang ke mana-mana.

Ada tiga hal yang dilakukan oleh burung tersebut, Pertama, burung tersebut berusaha keluar sarang sebagai bentuk usaha, kedua tidak tinggal diam meratapi nasibnya, dan yang ketiga optimis dengan rezeki Allah, bahwa Allah pasti memenuhi kebutuhannya.

Terkait dengan hadits di atas, Al Munawi mengatakan,

”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan ikhtiar, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah)

Karenanya, Syaikh Abdurrahman Al-Mubarakfuri menjelaskan terkait dengan hadits tentang tawakkalnya burung tersebut maka beliau mengatakan,

ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻜﺴﺐ ﺑﻞ ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﺮﺯﻕ

“Hadits ini tidak menunjukkan bahwa kita harus meninggalkan usaha (menempuh sebab), akan tetapi menunjukkan agar melakukan usaha untuk mencari rezeki (Tuhfatul Ahwadzi, syaikh Al-mubarakfury)

Suatu kali Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu  mengatakan,”Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rizkiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan,”Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits tentang burung di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)

Syahdan dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya lalu tawakal kepada Allah Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya ? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakal !” (HR. At-Tirmidzi no. 2517, hasan)

Tawakkal senantiasa butuh ikhtiar, dan ikhtiar juga tidak boleh dilepaskan tanpa tawakkal. keduanya harus senantiasa selaras dalam langkah.

Olehnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

فالإلتفات الى الأسباب شرك فى التوحيد و محو الأسباب أن تكون أسبابا نقض فى العقل و الأعراض عن الأسباب المأمور بها قدح فى الشرع فعلى العبد أن يكون قلبه متعمدا على الله لا على سبب من الأسباب و الله ييسر له من الأسباب ما يصلحه فى الدنيا و الأخرة

“Mengandalkan sebab atau usaha itu menodai kemurnian tauhid, Tidak percaya sebab adalah tindakan merusak akal sehat. Tidak mau melakukan usaha atau sebab adalah celaan terhadap syariat (yang memerintahkannya). Hamba berkewajiban menjadikan hatinya bersandar kepada Allah, bukan bersandar kepada usaha semata. Allahlah yang memudahkannya untuk melakukan sebab yang akan mengantarkannya kepada kebaikan di dunia dan akherat” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 8/528)

Bahkan, Sahl At Tusturi mengatakan, ”Barangsiapa mencela ikhtiar maka dia telah mencela sunnatullah, dan barangsiapa yang mencela tawakkal maka dia telah meninggalkan keimanan. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)

Maka terkait dengan wabah yang ahir-ahir ini demikian ramai di jadikan topik bahasan, yang memang telah menjatuhkan banyak korban dari beberapa negara. Maka perlu adanya antisipasi dini dengan mengikuti saran orang-orang yang memang memiliki displin pengetahuan terkait dengan antisipasi penularan dan penyebarannya.

Bagi daerah yang memiliki dampak penyebaran tinggi dan tidak memungkinkan untuk daat melaksanakan shalat jamaah di masjid karena khawatir membahayakan diri dan juga orang lain sudah sepatutnya berlapang dada untuk tidak memaksakan diri sebagai bentuk aplikasi hadits,


لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh melakukan mudorot pada diri sendiri dan juga memudorotkan orang lain.” (HR Ibnu Majah)

Bagi daerah yang masih memungkinkan, untuk melakukan shalat jamaah maka tetaplah melakukannya, dengan memperhatikan kesehatan dan keamanan bersama, tanpa harus mengecilkan yang tak bisa melakukan di daerahnya karena udzur syar'i.

Tetaplah berusaha maksimal sebagai wujud iktiar, melakukan langkah-langkah antisipasi lalu bertawakallah pada Allah. Bukankah Allah memang memerintahkan kita untuk senantiasa siaga dalam segala kondisi dengan firmanNya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu,..." (An-nisa 71).

Bersiaplah, berusahalah dan bertawakallah dengan sebaik baik tawakal. Hanya pada Allah semua mahluk bergantung.

Senantiasalah berdoa kepada Allah, karna iktiar itu doa yang di usahakan dan usaha yang senantiasa terdoakan.

Naser Muhammad

KETULUSAN

Nampaknya ketulusan adalah muaranya, mengapa dengan segala keterbatasan fasilitas yang mereka miliki di zamanya. Tapi kemudian mampu melampaui karya orang-orang hari ini.

Sebutlah Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, siapa yang tak mengenal beliau dengan karya besarnya. Beliau bahkan digelari amirul mukminin fil hadits.

Khususnya di kalangan pelajar dan akademisi Islam yang bersentuhan langsung dengan ilmu hadits, hampir tidak ada yang tidak mengenal beliau dengan kitab "Shahih"nya, sebuah kitab paling sahih di muka bumi setelah Al Qur'an.

Atau siapa yang tak kenal dengan Al Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi, yang lebih dikenal sebagai Al-Imam Adz-Dzahabi atau Al-Dhahabi, seorang Ulama dari Maula Bani Tamim dengan seluruh karya-karya besarnya. 

Terkadang kita bertanya apa gerangan yang memotivasi mereka sehingga bisa memberi karya besar dengan keterbatasan fasilitas di zamannya.

Karenanya sekecil apapun karya mereka dizamannya sungguh tidak bisa di samakan dengan karya siapapun hari ini.

Satu kitab yang ditulis oleh ulama pada zamannya, sungguh tidak setara dengan satu buku yang kita tulis hari ini.

Namun siapa sangka, ternyata motivasi yang menggerakkan mereka bermula dari hal yang kecil hingga sanggup melahirkan mahakarya yang dikenang sejarah.

Motivasi mereka terkadang lahir dari sebuah kalimat sederhana namun sangat menghujam kuat ke dalam relung hati mereka.

Imam Bukhari misalnya, syahdan diriwayatkan, saat berada di majelis Imam Ishaq bin Rahawaih, Imam Bukhari mendengar beliau berkata:

"لو ان احدكم يجمع كتابا فيما صح من سنة الرسول"

"Andai ada salah seorang diantara kalian yang mau menyusun sebuah kitab yang berisi sunnah-sunnah Rasulullah yang sahih...". Kalimat ringan. Namun bekasnya kuat dalam diri Imam Bukhari. Dan karenanya, lahirlah darinya sebuah karya monumental yang memiliki wibawa di mata umat. (Ibnu Hajar, Hadyu Al Sari, hlm. 9).

Begitu juga dengan Al Hafidz Al Dzahabi. Di balik kesuksesannya menjadi Imam Al Jarh wa Al Ta'dil, Hadits, dan ahli sejarah yang sulit dicari tandingannya, terselip kalimat sederhana dari lisan gurunya, Al Imam Al Barzali kala menyaksikan tulisan tangan Al Dzahabi: 

ان خطك هذا يشبه خط المحدثين

"Sungguh, tulisanmu ini sangat menyerupai tulisan Ahli Hadits".
Imam Al Dzahabi pun berkata: "Sejak saat itu, Allah Ta'ala menanamkan kecintaan dalam diriku terhadap ilmu hadits". (Al Dzahabi, Siyar A'lam Al Nubala', 1/35).

Kalimat ringan nan sederhana itulah yang kemudian memberi efeknya luar biasa bagi Imam Adzahabi hingga beliau memiliki sekitar 100 karya tulis yang kita nikmati hingga hari ini.

Yah sekali lagi bahwa ketulusan adalah muaranya, mengapa pekerjaan kecil menjadi nampak besar karena niat yang melatarinya, memang besar. Karena tidak ada kebesaran yang melampaui niat untuk agama Allah.

Mungkin itulah dasar yang kemudian Imam Ibnul Mubarak berkata:

رب عمل صغير تكبره النية ورب عمل كثير تصغره النية

"Boleh jadi, sebuah amalan kecil menjadi besar (di sisi Allah) karena niat, dan bisa saja sebuah amalan besar menjadi kecil (di sisi Allah) karena niat pula. (Al Dzahabi, Siyar A'lam Al Nubala, 8/400). 

Naser Muhammad

ANTARA HUJAN DAN CORONA



Suatu kali hujan deras mengguyur, jalanan mulai becek tetiba waktu shalat masuk, muadzin pun mengumandangkan azan. 

Namun aneh karena azan itu tak seperti biasanya. Kalimat hayya alassaholahnya telah berganti menjadi As Shalaatu fir Rihaal (sholatlah di rumah masing-masing).

Kejadian itu bukan di negara ini, tapi terjadi di zaman para sahabat Nabi, kejadiannya di rekam dalam sebuah hadits,

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ أَيُّوبَ، وَعَبْدِ الْحَمِيدِ، صَاحِبِ الزِّيَادِيِّ وَعَاصِمٍ الأَحْوَلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ فِي يَوْمٍ رَدْغٍ، فَلَمَّا بَلَغَ الْمُؤَذِّنُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ‏.‏ فَأَمَرَهُ أَنْ يُنَادِيَ الصَّلاَةُ فِي الرِّحَالِ‏.‏ فَنَظَرَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالَ فَعَلَ هَذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ وَإِنَّهَا عَزْمَةٌ‏.‏

Seperti dinarasikan `Abdullah bin Al-Harith: "Hari itu sedang hujan dan berlumpur saat Ibnu Abbas hendak sholat bersama kami. Ketika muadzin yang mengumandangkan adzan berkata Hayyaa 'alas Salaah, Ibnu Abbas mengatakan untuk mengubahnya menjadi As Shalaatu fir Rihaal (sholatlah di rumah masing-masing). Orang-orang saling melihat dengan wajah kaget. Ibnu Abbas berkata, hal ini pernah dilakukan di masa orang yang lebih baik dibanding diriku ( Rasulullah) dan ini terbukti." (HR Bukhari).

Mungkin jika itu terjadi di negri ini entah apa reaksi kita, mungkin kah kita akan mengatakan "lebay, baru juga hujan air, belum hujan batu sudah nyuruh-nyuruh solat di rumah".

Atau "Kenapa sih, takut banget sama hujan, takut tuh sama Allah, baru hujan aja sudah ngelarang-larang orang ke masjid".

Mungkin begitulah kira-kira komentar netizen perihal himbauan tak ke masjid karena hujan, sama dengan kasus hari ini saat corona menyerang.

Padahal jika kita sadari bersama, bahwa corona lebih berbahaya dari hujan. Hujan mungkin hanya akan mencelakakan kita sendiri jika dalam perjalanan kemasjid, kemudian kaki terjerembab ke dalam kubangan lumpur.

Lalu bagaimana dengan corona apakah jika kita terpapar corona kita akan merenggang nyawa sendirian? Tidak, kita akan membuat orang lain juga terpapar bukan?

Sekarang mari berfikir, apakah hujan lebih berbahaya dari corona? Apakah air dan lumpur lebih berbahaya dari virus?

Hujan mungkin bisa membunuhmu sendirian saat engkau berjalan ke masjid lalu terjatuh ke jurang, tapi virus ini bisa membunuh orang lain tanpa engkau menyadarinya.

Jangan takut dengan pahala yang berkurang karena tak ke masjid. Karena jika engkau selama ini konsisten menjalankan shalat lima waktu saat engkau tak ada uzur, maka engkau akan tetap mendapatkan pahala yang sama saat engkau tak bisa melaksanakannya saat engkau ber-uzur.

Rasulullah bersabda,

وعن أبي عبدِ اللهِ جابر بن عبدِ اللهِ الأنصاريِّ رَضي اللهُ عنهما ، قَالَ : كُنَّا مَعَ النَّبيِّ في غَزَاةٍ ، فَقالَ: إِنَّ بالمدِينَةِ لَرِجَالاً ما سِرْتُمْ مَسِيراً ، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِياً ، إلاَّ كَانُوا مَعَكمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ . وَفي روَايَة : إلاَّ شَرَكُوكُمْ في الأجْرِ رواهُ مسلمٌ
ورواهُ البخاريُّ عن أنسٍ، قَالَ : رَجَعْنَا مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ مَعَ النَّبيِّ، فقال : إنَّ أقْواماً خَلْفَنَا بالْمَدِينَةِ مَا سَلَكْنَا شِعْبا وَلاَ وَادياً ، إلاّ وَهُمْ مَعَنَا ؛ حَبَسَهُمُ العُذْرُ

Dari Abu Abdullah Jabir Ibnu Abdullah Al Anshari radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Sesunguhnya di Madinah terdapat orang-orang yang kamu tidak menempuh sebuah perjalanan dan tidak melintasi sebuah lembah, melainkan mereka bersama-sama kamu. Mereka dihalangi oleh udzur sakit.” Dan dalam sebuah riwayat: “Melainkan mereka bersekutu denganmu dalam pahala.” (HR Muslim)

Alfaqir ila robbirrohim Naser Muhammad

LOCKDOWN

Nampaknya pemerintah gugup untuk mengambil keputusan lockdown sebagai upaya preventif dalam menghadapi virus corona.

Berbagai macam narasi demi mendukung ide agar lockdown tidak dijadikan langkah preventif terus digaungkan

"Otoriter." Ujar Menhan lantang. Entah kacamata apa yang menjadi ukuran bahwa lockdown itu otoriter. Bukankah keadaan Negara yang lebih mementingkan pertumbuhn ekonomi, daripada kematian rakyat jauh lebih otoriter?

Atau bukankah Negara yang justru membiarkan 49 orang TKA masuk ke negara ini dan membuat gaduh menyakiti warga negara yang sedang lokdown karena kesadaran pribadi lebih otoriter.

Jika lockdown memang adalah ukuran otoriter, maka sungguh mengecilkan langkah preventif yang diambil oleh negara-negara lain sebagai upaya menghindarkan negara mereka dari serangan wabah corona padahal terbukti efektif.

Seirama dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD juga menggaungkan narasi anti lockdown yang menurutnya sangat tak manusiawi.

Menurut beliau mungkin langkah manusiawi itu adalah, membiarkan para tenaga medis berjuang dengan APD dan fasilitas yang terbatas hingga merenggang nyawa tanpa sempat pamit dengan orang-orang tercinta.

Langkah pemerintah dalam melakukan  penanganan pandemi global ini, seakan tak benar-benar serius sehingga lebih banyak menimbulkan kekhawatiran, daripada ketenangan.

Menhan dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM mungkin berdalih dengan Italia, padahal kita tau semua. Bahwa italia sangat terlambat dalam mengantisipasi keadaan negara mereka dalam mengambil langkah preventif, ditambah ketidak disiplinan warga negaranya juga menjadi salah satu problem sehingga italia tumbang.

Seharusnya negara justru belajar dari tumbangnya italia, terkait dengan langkah terlambat yang diambil oleh negara itu sehingga mengap-mengap melawan wabah corona.

Ada yang memperkirakan jumlah korban di indonesia akan lebih besar dari Italia bila pemerintah tidak sigap mengantisipasinya. Bahkan dalam hal ini Kementerian Kesehatan yang memiliki otoritas dalam kesehatan sudah mengisyaratkan akan adanya lonjakan jumlah penderita. 

Jika itu benar adanya dan terjadi, maka bisa diprediksi Jakarta menjadi salah satu kota yang akan paling besar menanggung derita atau lebih sadisnya menjadi kuburan massal.

Mungkin inilah yang memicu Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli yang secara lugas menyebut Indonesia sebagai negara tanpa pemimpin. “A Nation Without Leader", setelah akhirnya beberapa kepala daerah menerapkan lockdown secara terbatas, tanpa mengindahkan instruksi persiden yang mengatakan bahwa lockdown adalah kebijakan pusat.

Kebijakan yang sering berubah, ketidak singkronan antara pernyataan dan kenyataan sejak merebaknya wabah corona. Pada akhirnya banyak kalangan yang meragukan tentang kualitas dan kemampuan pemerintah pusat dalam menangani pandemi ini. Bukan hanya dari kalangan domestik, namun juga komunitas internasional.

Wabah corona dengan potensi sebarannya yang begitu massif bila dibandingkan dengan fasilitas dan tenaga medis yang dimiliki negara ini sesungguhnya tidak ada pilihan lain, kecuali lockdown. 

Wabah ini sudah pandemi dan bukankah para ulama telah sepakat bahwa sesuatu yang telah diprediksi kemunculannya pada hakikatnya telah ada, dan sesuatu yang sudah dekat kedatangannya harus diupayakan antisipasinya.

Lockdown selain efektif secara medis dia juga adalah anjuran agama dalam memutus mata rantai penyebaran wabah yang terbukti efektif dari masa ke masa. Bahkan manusia terbaik di dunia ini mengatakan,


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).

Lockdown tidak sesederhana membuka sebuah pintu tertutup pun sebaliknya, tapi setidaknya pemimpin benar-benar di uji sejauh mana kemampuan leader yang dimilikinya. Mampukah pemimpin itu mengambil langkah cepat, tepat dan cermat dalam menghitung cost ekonomi serta sosial dan politik yang akan menghadang tepat di hadapan.

Bagai kapal titanik di depan gunungan batu es mampukah nahkoda mengendalikan bahteranya? itulah yang kan membuktikan ia memang leader atau dia hanya dealer.

Naser Muhammad

FIQHI WABAH

1. ISOLASI DIRI

Isolasi diri adalah langkah efektif menghentikan laju penyebaran wabah, langkah ini juga diajarkan oleh Rasulullah dalam haditsnya,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). 

Pada tahun 749 Hijriyah terjadi waba’ (endemi) di Syam. Menghadapi itu, muslimin keluar dan berkumpul untuk berdo’a. Setelah itu justru jumlah korban yang terkena waba’ semakin banyak dan meluas. 15 tahun kemudian, yaitu pada tahun 764 hijriyah, barulah untuk pertama kali para ulama berkumpul kembali seperti sediakala, sungguh sebuah rentang waktu yang sangat panjang kala itu.

Social distancing atau lockdown sebetulnya sudah lama menjadi perbincangan akademis dikalangan kaum muslimin, bukan sesuatu yang baru. Karenanya menjadi solusi islam dari masa ke masa dalam upaya menghadapi wabah.

Suatu kali endemi pernah terjadi di Mesir pada tahun 833 hijriyah. Dalam sehari, korban yang meninggal dunia mencapai 40 orang. Mereka kemudian keluar dan berkumpul untuk berdo’a, melakukan istighatsah dan setelah itu jumlah korban yang meninggal dunia justru semakin banyak. Bahkan mencapai 1000 setiap harinya.

Karena itulah, Syaikhul Islam Al-Imam Al-hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menegaskan sikapnya berdasarkan hujjah yang kuat, sejalan dengan sebagian ulama di kala itu yang memfatwakan larangan keluar berkumpul, meskipun dimaksudkan untuk berdo’a dan ibadah pada saat terjadi waba’. Larangan keras ini difatwakan karena khawatir waba’ semakin meluas. 

Fatwa serta sikap beliau dalam menghadapi wabah bisa di dapatkan di kitab karangan beliau yang berjudul Badzlul ma’un fi fadhli at-tha’un.

2. BOLEHNYA SOLAT DI RUMAH

Akhir-akhir banyak terjadi perbincangan tentang boleh-tidaknya melaksanakan shalat jamaah di masjid kala wabah menyebar.

Hal ini sesungguhnya juga bukan hal baru, kondisi ini pernah terjadi beberapa abad sebelumnya.

Diriwayatkan dari seorang Tabi'in yang mulia, Masruq bin Al Ajda' Al Wadi'i Rahimahullah:

كان يمكث في بيته أيام الطَّاعُونِ ويَقُولُ: أَيَّامُ تَشَاغُلٍ فَأُحِبُّ أَنْ أَخْلُوَ لِلْعِبَادَةِ فَكَانَ يَتَنَحَّى فَيَخْلُو لِلْعِبَادَةِ , 
قَالَت زوجته: 
فَرُبَّمَا جَلَسْتُ خَلْفَهُ أَبْكِي مِمَّا أَرَاهُ يَصْنَعُ بِنَفْسِهِ وَكَانَ يُصَلِّي حَتَّى تَوَرَّمَ قَدَمَاهُ".
(الطبقات لابن سعد  ج٦ ص٨١)

"Beliau berdiam diri dalam rumahnya pada hati-hari merebaknya wabah Thaa'un, seraya berkata: "Hari-hari penuh kepayahan, dan aku ingin fokus beribadah". Lalu beliau mengambil sudut rumah dan berkhalwat untuk ibadah. 
Istrinya berkata: "Kadang aku duduk di belakangnya sambil menangis menyaksikan apa yang beliau lakukan atas dirinya. Adalah Beliau shalat hingga kedua kakinya bengkak-bengkak". 
(Ibnu Sa'ad, Ath-Thabaqaat, 6/81).

Dahulu Mesir pernah mengalami endemi. Ibnu Hajar menukil perkataan Imam Adz-Dzahabi rahimahuLlahu Ta’ala dalam kitabnya Siyar A’lam An Nubala’ tentang penutupan masjid saat terjadi waba’.

Al Imam Al Hafizh Adz Dzahabi Rahimahillahu berkata:

وفي سنةِ ثمانٍ وأربعين وأربعمائةٍ كَانَ القَحْطُ عَظِيْماً بِمِصْرَ وَبَالأَنْدَلُس، وَمَا عُهِدَ قَحْطٌ وَلاَ وَبَاءٌ مِثْله بقُرْطُبَة، حَتَّى بَقِيَت المَسَاجِدُ مغلقَة بِلاَ مُصَلٍّ، وَسُمِّيَ عَام الْجُوع الكَبِيْر. ينظر سير أعلام النبلاء (18/311) طبعة الرسالة من الشاملة.

"Pada tahun 448 H, terjadi kekeringan (paceklik) besar di Mesir dan Andalusia. Belum pernah sebelumnya terjadi kekeringan dan tidak pula wabah seperti itu di Cordoba, hingga masjid-masjid terpaksa ditutup dan tidak ada orang yang shalat. Saat itu dinamakan Tahun Kelaparan Hebat (The Great Famine Year)."
(Adz Dzahabi, Siyar A'lam An Nubala', 18/311)

Periode itu secara kontemporer dikenal dalam bahasa Irlandia sebagai An Drochshaol  "masa-masa sulit" (atau secara harfiah diartikan, "Kehidupan Yang Buruk"). 

Al Maqriziy berkata tentang wabah Thaa'un yang terjadi tahun 749 di Mesir:

وتعطل الأذان من عدة مواضع وبقي في الموضع المشهور بأذان واحد... و غلقت أكثر المساجد و الزوايا
(السلوك لمعرفة دول الملوك 88/4)

"Di banyak tempat Azan ditiadakan. Tinggallah azan hanya sekali di satu tempat yang terkenal... (Saat itu) banyak masjid dan surau-surau yang terpaksa ditutup". (As Suluk li Ma'rifah Dual Al Muluk, 4/88).

Bahkan di dalam sebuah hadits Rasulullah pernah memerintahkan solat di rumah hanya karena hujan deras, dimana kita tau bahwa wabah jauh lebih layak dihindari dari pada sekedar air hujan. Dimana beliau bersabda,

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».

Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian]. Kemudian beliau mengatakan, ”Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].” (HR. Muslim no. 697).

Atau sabdanya juga dalam hadits yang senada,

حَدَّثَنِى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.

Dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwasanya dia pernah beradzan untuk shalat di malam yang dingin, berangin kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di akhir adzan, “Alaa shollu fi rihaalikum, alaa shollu fir rihaal” [Hendaklah shalat di rumah kalian, hendaklah shalat di rumah kalian]’. Kemudian beliau mengatakan, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau bersafar (perjalanan jauh) agar mengumandangkan, “Alaa shollu fi rihaalikum”  (Hendaklah shalat di kendaraan kalian masing-masing). (HR. Muslim no. 697).

Ibnu Baththol mengatakan,

أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ التَّخَلُّفَ عَنِ الجَمَاعَةِ فِي شِدَّةِ المَطَرِ وَالظُّلُمَةِ وَالرِّيْحِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، مُبَاحٌ.

”Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa meninggalkan shalat berjama’ah ketika hujan deras, malam yang gelap dan berangin kencang dan udzur (halangan) lainnya adalah boleh.” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/364).

Hanya saja perlu dilihat seberat apa kondisinya, jika masih sangat memungkinkan untuk melaksanakan solat berjamaah karena wabah masih sangat kecil penyebarannya maka yang lebih afdol adalah ke masjid.

3. BOLEH MENGGANTI LAFADZ DALAM ADZAN

Mengganti lafadz adzan khususnya pada ucapan hayya alassolah dengan beberapa lafadz yang sesuai dengan tuntunan hadits.


Beberapa lafadz diantaranya,
 أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ 

Hendaklah shalat di rumah kalian,

أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ 

Hendaklah shalat di rumah kalian, atau ucapan,

صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ 

Sholatlah di rumah kalian sebagaimana redaksi hadits di bawah ini,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِى يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ – قَالَ – فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, ”Orang yang lebih baik dariku telah melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 699)

4. SHALAT JUMAT DIGANTI DUHUR 4 RAKAAT

Jika kondisi masih memungkinkan untuk melaksanakan solat jumat karena paparan di tempat itu masih sangat rendah, maka solat jumat masih lebih afdol di laksankan.

Namun, di daerah yang potensi penyebarannya sudah meluas maka solat di rumah dengan cara mengganti jumat dengan dzuhur lebih di anjurkan.

Pasien yang terkena virus jika dia mengetahui keadaannya bahwa dia telah terpapar, maka diharamkan baginya untuk menghadiri shalat Jumat dan shalat berjamaah, hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Jangan dikumpulkan yang sakit dengan yang sehat.” (HR. Bukhari, no. 5771 dan Muslim, no. 2221)

5. TIDAK KE MASJID KARENA UDZUR SYAR'I PAHALANYA SAMA

Kehawatiran sebagian orang yang terhalang ke masjid karena udzur semisal wabah, adalah merasa terhalang dari pahala yang besar yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا تَطَهَّرَ الرَّجُلُ، ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ يَرْعَى الصَّلَاةَ، كَتَبَ لَهُ كَاتِبَاهُ أَوْ كَاتِبُهُ، بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الْمَسْجِدِ عَشْرَ حَسَنَاتٍ، وَالْقَاعِدُ يَرْعَى الصَّلَاةَ كَالْقَانِتِ، وَيُكْتَبُ مِنَ الْمُصَلِّينَ مِنْ حِينِ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِ

”Jika seseorang bersuci kemudian pergi ke masjid untuk memelihara shalatnya, maka dicatat baginya sebanyak sepuluh kebaikan untuk setiap langkahnya ke masjid. Dan orang yang duduk (menunggu shalat) untuk memelihara shalatnya, dia seperti orang yang melaksanakan ketaatan dan dicatat sebagai orang yang mengerjakan shalat ketika keluar dari rumahnya sampai kembali lagi.“ (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban. Di-shahih-kan oleh Syaikh Albani).

Padahal, dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Dari hadits itulah kemudian, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,

وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا

“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6: 136)

6. WAFAT KARNA WABAH (THAUN) DIGANJAR SYAHID JIKA DIA MUSLIM YANG SABAR DAN RIDHO

Dari Jabir bin ‘Atik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ

“Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban ath-tha’un (wabah) adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya, pen.) adalah syahid.” (HR. Abu Daud, no. 3111. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat keterangan ‘Aun Al-Ma’bud, 8: 275)

Ibnu Hajar menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan syahid adalah, malaikat menyaksikan bahwa mereka mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir hidup yang baik). (Lihat Fath Al-Bari, 6:43)


Wallahu A'alam 
Al faqiir Ila robbirrohim NASER MUHAMMAD